Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan
Perzinahan
oleh
1. Terdapat dua jenis delik
dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa,
perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi,
penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.
Sedangkan, mengenai delik
aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr.
Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari
yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana
dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka
telah terjadi suatu perdamaian.
R. Soesilo dalam bukunya dalam
bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:
a.
Delik
aduan absolut,
ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan
berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk
menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi:
“..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut
itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk,
membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak
dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan
pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya,
ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan
istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan
dilakukan penuntutan.
b.
Delik
aduan relatif,
ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan,
akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367,
lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam
pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu
diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut
orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat
dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362)
oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya
seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat
dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus
bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
Untuk delik aduan,
pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau
dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal
74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang
mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga
bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Lebih lanjut, Soesilo
menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat
dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang
pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih
menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap,
barulah dimulai pemeriksaannya.
Di sisi lain, tindak pidana
perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Dari rumusan Pasal 285 KUHP
di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik
aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya
persetujuan dari pelapor atau korban.
Jadi, tidak semua pasal
dalam KUHP tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat
mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik
aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.
2.
Ketentuan
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu
antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak).
Pasal
81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Dari rumusan Pasal 81 dan
Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi
delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan
pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa
dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar