PRESS RELEASE
“JANGAN LUPAKAN ROHINGYA”
MEMPERINGATI HARI HAM SEDUNIA
10 DESEMBER 2012
Genap
64 (enam puluh empat) tahun sudah hari lahirnya Hak Asasi Manusia
(“HAM”) sedunia diperingati. Tanggal 10 Desember sebagai hari HAM
sedunia merupakan tonggak kelahiran perlindungan hak asasi manusia serta
pengakuan yang universal terhadap hak asasi bangsa-bangsa di dunia yang
kemudian melahirkan deklarasi internasional tentang HAM yaitu
Universal Declaration of Human Rights.
Pengakuan
HAM secara universal tersebut merupakan konsep ideal yang mengakui dan
memberikan kedudukan setiap warga negara sama hak-haknya baik secara
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep pengakuan dan perlindungan
HAM secara internasional juga berupaya menghilangkan secara bentuk
kekejaman, pembunuhan, pemusnahan etnis (genoside), segala bentuk
diskriminasi, maupun memberikan hak-hak dasar sebagai warga negara,
salah satunya yaitu hak atas status kewarganegaraan.
Kenyataan
yang terjadi, Deklarasi HAM Internasional ini tidak berjalan sesuai
konsep yang diidealkan tersebut, khususnya bagi etnis Rohingya
(“Rohingya”) di Arakan – Myamnar. Sejak berpuluh-puluh tahun mereka
diusir dari tempat kelahirannya oleh etnis mayoritas di Myanmar dan juga
oleh Pemerintah Myanmar, karena dianggap bukan sebagai bangsa Myanmar.
Bahkan oleh pemerintah Myanmar melalui undang-undang, mereka tidak
diakui sebagai etnis, dan pada 1982 melalui undang-undang pula, mereka
tidak lagi diakui sebagai warga negara atau saat ini Rohingya tidak
mempunyai status kewarganegaraan (
stateless). Padahal Rohingya telah
ada berabad-abad lamanya jauh sebelum negara Myanmar merdeka dan mereka
juga pernah ikut berkontribusi dalam pemerintahan, dimana orang
Rohingya pernah menjabat sebagai menteri di pemerintahan Myanmar.
Kondisi yang lebih menyedihkan, Rohingya dibunuh secara massal dan
dipaksa keluar dari Arakan melalui cara-cara yang tidak manusiawi,
rumahnya dibakar, wanitanya diperkosa, dan anak-anak dibunuh. Kondisi
yang mengerikan ini yang membuat Rohingya tersebut terpaksa harus
menyelamatkan diri dengan perahu-perahu tua menyebrang ke negara
tetangga seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Namun,
di negara tetangga pun mereka terusir sehingga harus hidup di atas
perahu berhari-hari dan berminggu-minggu, yang menyebabkan ratusan
Rohingya meninggal di atas perahu.
Kondisi ini sampai dengan hari ini
masih berlangsung, penderitaan Rohingya belum berakhir dan bahkan
semakin memprihatinkan, karena kekejaman terhadap Rohingya masih terjadi
di Arakan dan juga di penampungan. Mereka hidup dalam kemiskinan yang
parah, bahkan PBB setelah mengunjungi pengungsian Rohingya mengatakan,
pengungsian Rohingya adalah pengungsian yang paling memprihatinkan dan
termiskin di dunia. Oleh karenanya, jangan lupakan Rohingya ! Jangan
biarkan pelanggaran HAM berat di Arakan yang dilakukan oleh etnis
Mayoritas dan Pemerintah Myanmar terhadap Rohingya tersebut terus
berlangsung.
PAHAM INDONESIA sebagai lembaga yang
concern terhadap pembelaan hak asasi manusia akan terus mengkampanyekan dan mendorong pemerintah Indonesia, ASEAN, PBB, dan
stakeholder lainnya
untuk segera menghentikan kekejaman terhadap Rohingya dan mengembalikan
mereka ke Arakan, hidup secara damai dan aman, dengan segala hak-haknya
yang melekat sebagai warga negara demi tegak dan terwujudnya
penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan
Universal Declaration of Human Rights.
Save Rohingya Save Humanity.
Jakarta, 10 Desember 2012
PAHAM INDONESIA
Nasrulloh Nasution, SH
Direktur Eksekutif
http://www.pahamindonesia.org/publikasi/pernyataan-sikap-paham/134-jangan-lupakan-rohingya.html
Sekretaris BPU DPW PKS NTB
Pin BB : 2A06A758
Jumat, 21 Desember 2012
Selasa, 04 September 2012
GRATIFIKASI
GRATIFIKASI
Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
Pasal 5 UU Tipikor
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap.
Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Informasi lebih lanjut mengenai gratifikasi dapat dibaca dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Di dalam buku tersebut (hal. 19) diuraikan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
Akan tetapi, menurut Pasal 12C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi (Pasal 12C ayat [2] UU Tipikor).
Jadi, ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Selasa, 05 Juni 2012
Hibah Wasiat
oleh : Try Indriadi
1. Dalam hal pewaris atau orang tua masih hidup, dapat dilakukan suatu pembagian harta warisan dengan cara pembuatan hibah wasiat. Hibah wasiat menurut Pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”)
ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu
atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan
macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau
barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua
barangnya.
Menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam bukunya yang berjudul Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (hal.
63), pada dasarnya, hibah wasiat adalah sama dengan hibah biasa, tetapi
ada satu hal penting yang menyimpang dari hibah biasa, yaitu ketentuan
bahwa pemberi hibah masih hidup. Sedangkan dalam hibah wasiat, pemberian
hibah justru baru berlaku pada saat pemberi hibah meninggal dunia.
2. Mungkin
yang Anda maksudkan adalah pembuatan surat hibah wasiat karena
pembagian warisan ingin dibuat pada saat orang tua masih hidup.
Pembuatan surat wasiat diatur di dalam Buku ke-2 Bab XIII Bagian Empat mengenai Bentuk Surat Wasiat KUHPerdata. Bentuk-bentuk surat wasiat tersebut, antara lain:
- Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPerdata);
- Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPerdata);
- Surat wasiat rahasia atau tertutup pada
saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani
penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun
jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat
penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila
digunakan sampul, harus tertutup dan disegel (lihat Pasal 940 KUHPerdata).
3. Dalam hal pembuatan surat wasiat, perlu adanya saksi dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pada pembuatan surat wasiat olografis dibutuhkan dua orang saksi.
Adapun prosesnya adalah sebagai berikut, pada saat pewaris menitipkan
surat waris, kemudian notaris langsung membuat akta penitipan (akta van de pot)
yang ditandatangani oleh notaris, pewaris, serta dua orang saksi dan
akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat itu bila wasiat itu
diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu
disampaikan kepadanya dengan disegel.
- Pada pembuatan surat wasiat dengan akta umum dibutuhkan dua orang saksi.
Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan
notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang
saksi.
- Pada pembuatan surat wasiat dengan keadaan tertutup dibutuhkan empat orang saksi.
Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus
menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di
hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas
tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan
ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani
olehnya.
4. Dalam
hal pembuatan surat wasiat oleh Ibu Anda pada saat kedua orang tua
masih hidup, perlu adanya persetujuan dari Ayah Anda. Hal ini mengacu
pada pengaturan mengenai harta bersama, yaitu:
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak” ();
Akan tetapi, apabila rumah tersebut adalah harta bawaan
Ibu Anda, maka tidak perlu adanya persetujuan dari Ayah Anda. Hal ini
mengacu pada pengaturan mengenai harta bawaan yaitu:
Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan, yang berbunyi:
Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta
bendanya.
5. Dalam
pembuatan surat wasiat harus dilakukan atau dititipkan kepada notaris.
Dengan demikian, surat wasiat harus dibuat dengan akta otentik sesuai
dengan pengaturan pada Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi:
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Demikian sejauh yang kami pahami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
www.hukumonline.com
Senin, 21 Mei 2012
Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
oleh : Ali Salmande
Baik Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) diatur oleh ketentuan atau dasar hukum yang sama. Yakni, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Pasal 1365 KUHPer berbunyi, ‘Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;
(1) adanya perbuatan;
(2) perbuatan itu melawan hukum;
(3) adanya kerugian;
(4) adanya kesalahan; dan
(5) adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
Kelima unsur di atas bersifat
kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan
seseorang tak bisa dikenakan pasal perbuatan melawan hukum (“PMH”).
Perbedaan antara PMH dengan PMH
oleh penguasa hanya terletak pada subjeknya. Bila dalam PMH biasa,
subjeknya adalah perorangan atau badan hukum. Sedangkan, PMH oleh
penguasa harus dilakukan oleh penguasa. Lalu, siapa yang bisa termasuk
kategori penguasa?
Ujang Abdullah saat menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) Palembang pernah menulis makalah yang berjudul ‘Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa’.
Dalam makalah tersebut dijelaskan antara lain bahwa pengertian penguasa
tidak hanya meliputi instansi-instansi resmi yang berada dalam
lingkungan eksekutif di bawan Presiden akan tetapi termasuk juga
Badan/Pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan.
Peraturan perundang-undangan tak
mengatur secara spesifik kebijakan atau PMH oleh penguasa apa saja yang
bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda
ketahui, selain di peradilan umum, PMH oleh penguasa bisa juga digugat
ke PTUN.
Nah, di PTUN ini, kebijakan
penguasa apa saja yang bisa digugat diatur secara spesifik. Yakni,
Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009).
Artinya, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret, individual,
dan final tidak bisa digugat ke Pengadilan Negeri karena sudah ada forum
lain, yaitu PTUN yang berwenang memeriksanya.
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
www.hukumonline.com
Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi
Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi
oleh Anandito Utomo, DH
Untuk dapat memahami perbedaan antara tindak pidana
penggelapan dengan korupsi, terlebih dahulu kita lihat mengenai
pengertian penggelapan yang termuat dalam Pasal 372 KUHP, yakni:
“Barang siapa dengan sengaja
menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau
sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena
kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda
setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah”
Selanjutnya, kita lihat pengertian tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dari penjelasan dua pasal di atas terlihat bahwa perbedaan mendasar antara kedua tindak pidana tersebut adalah adanya kerugian negara. Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
Jadi, dalam lingkup perusahaan
perlu diteliti terlebih dahulu mengenai dampak kerugian atas suatu
tindak pidana penggelapan tersebut apakah mengakibatkan kerugian negara
atau tidak. Jika ya, maka perbuatan tersebut bukanlah penggelapan
melainkan korupsi.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
www.hukumonline.com
Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?
Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?
OLEH diana kusumasari
1. Dari
penjelasan Anda, menurut kami, tidak ada pelanggaran maupun kejahatan
yang dilakukan oleh karyawan (bawahan) tersebut jika memang uang itu
diberikan secara sukarela (cuma-cuma).
Karena perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
“Barang
siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”
Sehingga, yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut.
Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau
jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan
adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana
barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 258), misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B
dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu
dipakai untuk keperluan sendiri.
Dalam hal ini, perlu dilihat apakah karyawan yang Anda maksudkan memang dalam pekerjaannya menguasai uang itu (misal: pemegang petty cash).
Jika dalam pekerjaannya dia menguasai sejumlah dana, memang
dimungkinkan dapat dilaporkan karena penggelapan ketika uang tersebut
kemudian digunakan. Namun, untuk karyawan tersebut dapat dikatakan
sebagai pelaku penggelapan, harus ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan demikian.
Sebaliknya,
jika uang tersebut bukan dititipkan atau dimiliki oleh karyawan karena
diberikan secara sukarela tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan,
maka unsur-unsur penggelapan tidak terpenuhi. Pemberian uang tersebut
lebih memenuhi unsur Pasal 1687Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni sebagai pemberian hadiah.
2. Atasan
tersebut tidak seharusnya menyangkal (telah memberikan secara sukarela
sejumlah uang kepada bawahannya), dan menuduh bawahannya melakukan
penggelapan dan merugikan dirinya tanpa adanya bukti-bukti yang cukup
membuktikan bahwa uang tersebut digelapkan dan bukan diberikan secara
cuma-cuma.
Jika
benar uang tersebut diberikan cuma-cuma namun kemudian karyawan
tersebut dituduh menggelapkan, atasannya dimungkinkan untuk dilaporkan
karena pencemaran nama baik
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
www.hukumonline.com
PENGGELAPAN DAN PENIPUAN
Penggelapan dan Penipuan
OLEH arsil
Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP.
Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang
lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah
ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya,
penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan
barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku
terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang.
Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam
penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik
orang lain.
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang.
Dilihat dari obyek dan tujuannya,
penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada
barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun
menghapus piutang.
Dalam perkara-perkara tertentu,
antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata.
Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal
tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak
ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil
tersebut hilang.
Dalam kasus seperti ini, peristiwa
tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan
penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak
berniat untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur
mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B
berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B
berubah niat dan membawa kabur mobil A.
Di bawah ini kami kutipkan pengaturan penggelapan dan penipuan dalam KUHP.
Boks: Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
Perbuatan
|
KUHP
|
Rumusan
|
Penggelapan
|
pasal 372
|
Barang
siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.
|
Penipuan
|
pasal 378
|
Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
|
Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
www.hukumonline.com
Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri
Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri
oleh : Diana Kusumasari
Secara umum, untuk gugatan perdata, pengajuan gugatan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
Namun, penerapan asas tersebut tidaklah mutlak, lebih jauh diuraikan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, yakni:
1. Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat);
2. Actor Sequitur Forum Rei
dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan
diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat
atas pilihan penggugat);
3. Actor Sequitur Forum Rei
Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal
(dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal,
sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan
diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal);
4. Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui);
5. Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa);
6. Kompetensi
Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para pihak dalam perjanjian
dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih
Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa
yang timbul dari perjanjian);
7. Negara
atau Pemerintah dapat Digugat pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah
Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara,
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di mana departemen yang
bersangkutan berada).
Mengutip pendapat salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sujatmiko, sebenarnya tidak ada keharusan untuk mendaftarkan gugatan yang tergugatnya di luar negeri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, untuk tergugat yang berada di luar negeri, menurut Sujatmiko, berlaku Pasal 118 ayat (3) HIR yang menentukan gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat (sebagaimana disebut dalam poin 4 di atas). Dan selanjutnya Ketua PN menyampaikan gugatan tersebut melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri untuk memanggil tergugat yang berada di luar negeri.
Lebih
jauh Sujatmiko menjelaskan, karena Direktorat Jenderal Protokol ini
berlokasi di Jakarta Pusat, maka pada umumnya gugatan terhadap tergugat
yang berada di luar negeri, diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meskipun misalnya penggugat ternyata mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Cirebon (contoh), pemanggilan tergugat juga akan melalui delegasi
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kemudian gugatan tersebut disampaikan melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri.
Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Kemudian, Ketua Pengadilan
menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Jadi,
kami simpulkan bahwa tidak ada keharusan bahwa gugatan terhadap tergugat
yang berada di luar negeri harus diajukan/didaftarkan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Sujatmiko melalui hubungan telepon pada 30 April 2012.
Dasar Hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227);
2. Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);
Senin, 14 Mei 2012
Proses Divestasi 24 Persen Saham Newmont Bermasalah
11 Mai 2012
ICW mengingatkan, negara banyak dirugikan melalui divestasi 24 persen saham Newmont tersebut.
Lupakan
sejenak perselisihan antara pemerintah dan DPR soal divestasi tujuh
persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang tinggal menanti keputusan
Mahkamah Konstitusi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan ada
hal yang lebih penting yang harusnya dipersoalkan, yakni bagaimana
proses divestasi 24 persen saham Newmont oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil penelusuran ICWdan penemuan anggota DPRD Sumbawa, ditemukan ada perbedaan dividen secara tertulis dan implementasinya. Pada perjanjian kerjasama tersebut, terutama pasal 8 tentang pembagian dividen, disebutkan bahwa pihak pertama yakni PT Daerah Maju Bersaing (DMB) akan mendapatkan dana talangan sebagai dividen awal sebesar USD4.000.000 dari pihak kedua yakni PT. Multi Capital. Ini artinya, pihak kedua telah memberikan piutang kepada pihak pertama yang disebut sebagai advance dividen.
Menurut anggota DPRD Sumbawa Fitrah Rino yang telah memanggil pihak PT DMB dan PT Multi Capital, pihak PT Multi Capital memberikan saham kepada PT DMB tanpa harus menanggung utang. Jadi, persoalan pembelian saham tersebut menjadi sepenuhnya urusan PT Multi Capital dan di luar tanggungjawab PT DMB. Tetapi pada kenyataanya, PT DMB tercatat memiliki utang kepada PT Multi Capital yang semakin hari jumlahnya semakin menumpuk. Hingga 2011, tercatat bahwa PT DMB selaku BUMD memiliki utang sebesar Rp241,368 miliar.
“Tahun 2010 utang PT DMB sebesar Rp26,509 miliar,” kata peneliti ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (10/5).
Selain itu, Firdaus juga menemukan fakta bahwa dividen yang dibayarkan kepada daerah (PT DMB) sebenarnya hanyalah sebagai angsuran utang atas dana talangan awal yang telah diberikan kepada PT DMB. Seharusnya, kata Firdaus, dividen yang diterima oleh daerah pada tahun 2010 adalah sebesar USS55.541.814. Angka ini didapat dari besarnya saham PT DMB 25 persen dari total keuntungan yang didapat PT NTT yakni Rp2.010.943.808.000. Total keuntungan didapat dari laporan keuangan PT Bumi Resources.
Tetapi nyatanya, pemerintah daerah hanya mendapatkan dividen pada tahun 2011 sebesar US$34 juta dan kemudian dikurangi dengan jumlah utang pada tahun 2011 sebesar Rp26.509 Juta. Sehingga dividen yang diterima adalah USS7,382 juta atau setara dengan Rp66,943 milliar.
“Jadi tidak ada dividen, tapi yang ada hanya angsuran utang,” tegas Firdaus.
Perlu dijelaskan, PT DMB merupakan perusahaan milik daerah yang dibentuk guna mewakili kepemilikan 24 persen saham di NNT. Pembentukan PT DMB ini merupakan hasil dari nota kesepahaman antara PT Bumi Resources (BR) dengan pemerintah daerah provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tentang pembelian saham program divestasi PT NNTyang disetujui pada 16 Maret 2007.
Kemudian, pada 18 Maret 2009, PT BR meneken perjanjian kerjasama antara gubernur NTB, Bupati Sumbawa Barat dan Sumbawa terkait pendirian perusahaan patungan yang diberi nama PT DMB. Kemudian, PT BR membentuk anak usaha yaitu PT Multi Capital dengan meneken kembali sebuah nota kesepahaman antara PT DMB dan Multi Capital. Lalu, pada 23 Juli 2009 dibuatlah perjanjian kerjasama antara PT DMB dan PT Multi Capital yang menjadi awal malapetaka. Perjanjian tersebut menjelaskan bahwa PT DMB hanya memiliki bagian 25 persen saham, sementara PT Multi Capital sebesar 75 persen.
Tidak hanya dari sisi dividen. Ternyata, pelanggaran pun terjadi pada pembentukan PT DMB ini. BUMD tersebut dianggap cacat hukum karena terbentuk tanpa adanya aturan yang mengatur tentang pembentukannya. Seharusnya, jelas Firdaus, setiap PT yang dibentuk atas nama milik daerah harus disertakan dengan aturan yang jelas yang disebut dengan peraturan daerah (Perda). Tetapi, Perda mengenai terbentuknya PT ini baru terbit setelah satu tahun pembentukannya.
“Pembentukannya cacat hukum dan bukan BUMD namanya tapi milik swasta,” terangnya.
Berdasarkan kecurangan-kecurangan tersebut, diduga negara telah banyak dirugikan melalui divestasi 24 persen PT NNT tersebut. Mirisnya, pemerintah seakan tak peduli bahkan tidak mengawasi proses divestasi tersebut serta proses pembentukan Perda. Untuk itu, ICW meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terkait proses divestasi 24 persen saham PT NNT juga perjanjian kerjasama antara BUMD dengan PT Multi Capital. Jika tidak, maka dapat dipastikan negara akan mengalamin kerugian yang sangat besar.
Selain itu, ICW juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berperan aktif untuk mendalami kerugian negara dari proses dan perjanjian kerjasama tersebut. Serta menindaklanjuti laporan ICW terkait dugan kerugian negara dari royalty PT NNT tahun buku 2004-2010 sebesar US$237.400.606.
Fitrah Rino menambahkan, pihaknya telah melaporkan hal ini kepada BPK dan KPK. Ia berharap agar permasalahan ini segera ditindaklanjuti. Dia menyayangkan, jika divestasi 24 persen PT NTT yang juga menyertakan dana daerah harus dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Daerah dirugikan dengan divestasi 24 persen saham PT NNT ini,” sesalnya.
Dia juga mempertanyakan, kemana lari dana talangan awal yang disetorkan oleh PT Multi Capital kepada PT DMB yang hingga saat ini disebut dengan utang. Apalagi, pembayaran dividen yang diberikan oleh PT Multi Capital selalu terlambat satu tahun dari jatuh tempo yang seharusnya dibayarkan. “Karena total keuntungan harus diberikan ke PT Bumi Resourses dan mereka yang memutuskan akan disetorkan atau untuk membayar utang,” sergahnya.
Selain itu, para pejabat yang menduduki beberapa jabatan penting di PT DMB pun berasal dari PT Multi Capital dan PT Bumi Resources. Empat di antara tujuh dewan komisaris merupakan pihak dari PT Multi Capital dan PT Bumi Resources.
sumber : Hukumonline.com
Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan
Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan
Perzinahan
oleh
1. Terdapat dua jenis delik
dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa,
perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi,
penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.
Sedangkan, mengenai delik
aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr.
Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari
yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana
dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka
telah terjadi suatu perdamaian.
R. Soesilo dalam bukunya dalam
bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:
a.
Delik
aduan absolut,
ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan
berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk
menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi:
“..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut
itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk,
membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak
dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan
pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya,
ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan
istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan
dilakukan penuntutan.
b.
Delik
aduan relatif,
ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan,
akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367,
lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam
pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu
diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut
orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat
dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362)
oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya
seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat
dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus
bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
Untuk delik aduan,
pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau
dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal
74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang
mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga
bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).
Lebih lanjut, Soesilo
menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat
dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang
pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih
menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap,
barulah dimulai pemeriksaannya.
Di sisi lain, tindak pidana
perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Dari rumusan Pasal 285 KUHP
di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik
aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya
persetujuan dari pelapor atau korban.
Jadi, tidak semua pasal
dalam KUHP tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat
mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik
aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.
2.
Ketentuan
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu
antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak).
Pasal
81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Dari rumusan Pasal 81 dan
Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi
delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan
pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa
dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Rabu, 02 Mei 2012
Mundur bagi PNS Saat Mencalonkan Diri
Keharusan Mundur bagi PNS Saat Mencalonkan Diri Sebagai Anggota DPD, Konstitusional!
(www.mahkamahkonstitusi.go.id)
(www.mahkamahkonstitusi.go.id)
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kewajiban mengundurkan diri bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan ikut pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah bukanlah pelanggaran hak konstitusional. “Keharusan mengundurkan diri itu bukanlah mengurangi hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 melainkan merupakan konsekuensi yuridis dari pilihan yang bersangkutan untuk berpindah dari birokrasi pemerintahan ke dalam jabatan politik yaitu untuk menjadi anggota DPD,” tegas Mahkamah dalam putusannya nomor 45/PUU-VIII/2010, yang dibacakan pada Selasa (1/5) sore, di ruang sidang Pleno MK.
Pengujian Pasal 12 huruf k berikut Penjelasannya dan Pasal 67 ayat (2) huruf h Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini dimohonkan oleh Muhammad Abduh Zen. Dalam permohonannya, dia mengaggap ketentuan tersebut adalah bertentangan dengan hak persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, keharusan bagi PNS untuk mengundurkan diri jika mencalonkan diri dalam pemilihan anggota DPD bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pembatasan hak asasi dengan UU dan perspektif sebagai kewajiban hukum. Dari perspektif pembatasan HAM, keharusan mengundurkan diri tersebut merupakan pembatasan HAM berdasarkan undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yakni bahwa HAM dapat dibatasi dengan Undang-Undang.
“Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini,” tegas Mahkamah.
Dari perspektif kewajiban, sambung Mahkamah, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perspektif yang manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara ini, maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional.
Akhirnya, Mahkamah menyatakan bahwa Pokok permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Dodi/mh)
Selasa, 01 Mei 2012
APARAT PEMERINTAH/NEGARA TIDAK NETRAL, DIPIDANA
Ketidaknetralan Aparat Negara/Pemerintah dalam Pemilukada Diancam Pidana
(www. mahkamahkonstitusi.go.id)
Mahkamah Konstitusi memutuskan
konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…”
dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. “Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam
Pasal 116 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda juga dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) UU Pemda selengkapnya harus
dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam
jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’,” urai Mahfud membacakan amar
putusan. Pasal 83 yang dirujuk oleh Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur
mengenai “dana kampanye” yang tiada kaitan sama sekali dengan pejabat
negara/PNS/kepala desa, tetapi Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur
larangan bagi aparat negara/ pemerintah yang selengkapnya berbunyi,
“Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan
negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Hal inilah yang dianggap
kesalahan merujuk pasal. Sedangkan Pasal 80 UU Pemda yang diminta MK
untuk dirujuk karena konstitusional, adalah mengatur mengenai pejabat
negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan
kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikah salah satu pasangan calon selama masa
kampanye. Putusan dengan nomor 17/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim
konstitusi lainnya pada Selasa (1/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini dimohonkan oleh Heriyanto selaku Tim Asisten Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mahkamah berpendapat Pemohon mengajukan
pengujian konstitusional frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83”
dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut
karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat
negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan
kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye,
melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur
tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan
fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Oleh karena
itu, untuk menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam
norma karena terjadinya kesalahan dalam merujuk pasal, Mahkamah perlu
memberikan kepastian hukum guna menegakkan keadilan dengan menyatakan
bahwa frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat
(4) UU 32/2004 harus dibaca “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum,”
ujar salah satu hakim konstitusi. Dalam konklusi, Mahkamah berkesimpulan
bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon. “Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo. Pokok permohonan beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu
Anjarsari/Miftakhul Huda)
MK Cabut Aturan Banding Praperadilan
Pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945.
Agus Sahbani
Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menyatakan menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan
penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan.
Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan anggota
polisi, Tjetje Iskandar yang memohon pengujian pasal itu.
“Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata ketua majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di ruang sidang Gedung MK, Selasa (1/5).
Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Sebab, pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan dikabulkan majelis hakim. Sementara, bagi pemohon praperadilan tidak tersedia upaya hukum banding.
Pasalnya, Tjeje pernah mengalami kasus pidana yang dihentikan penyidikan (SP-3) lewat Surat Ketetapan No. Pol. S.Tap/20-BupI/VII/2002 tanggal 4 Juli 2002 yang dikeluarkan Direspidum Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi. Lalu, pemohon mengajukan praperadilan yang memutuskan permohonan praperadilan ditolak lewat putusan No. 27/Pid/Prap/2011/PN Jaksel tanggal 23 Agustus 2011.
Artinya, SP3 atas kasus itu tetap dinyatakan sah. Meskipun Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP melarang pihak pemohon untuk banding, Tjetje tetap mengajukan banding atas putusan praperadilan itu yang memori bandingnya telah diserahkan pada 9 September 2011.
Selengkapnya, Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi, “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”. Lalu, ayat (2) menyatakan “dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi”.
Atas penghapusan pasal itu, Mahkamah beralasan acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding (baik oleh pemohon atau termohon). MK menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. “Ketentuan itu tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Mahkamah berpendapat untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP terdapat dua alternatif. Pertama, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding. Atau, kedua, menghapuskan hak penyidik/penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.
Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat adalah untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka, terdakwa, penyidik, dan penuntut umum. Karena itu pula, pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak itu, maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum. Sedangkan permohonan pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum,” kata Ahmad Sodiki.
“Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata ketua majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di ruang sidang Gedung MK, Selasa (1/5).
Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Sebab, pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan dikabulkan majelis hakim. Sementara, bagi pemohon praperadilan tidak tersedia upaya hukum banding.
Pasalnya, Tjeje pernah mengalami kasus pidana yang dihentikan penyidikan (SP-3) lewat Surat Ketetapan No. Pol. S.Tap/20-BupI/VII/2002 tanggal 4 Juli 2002 yang dikeluarkan Direspidum Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi. Lalu, pemohon mengajukan praperadilan yang memutuskan permohonan praperadilan ditolak lewat putusan No. 27/Pid/Prap/2011/PN Jaksel tanggal 23 Agustus 2011.
Artinya, SP3 atas kasus itu tetap dinyatakan sah. Meskipun Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP melarang pihak pemohon untuk banding, Tjetje tetap mengajukan banding atas putusan praperadilan itu yang memori bandingnya telah diserahkan pada 9 September 2011.
Selengkapnya, Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi, “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”. Lalu, ayat (2) menyatakan “dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi”.
Atas penghapusan pasal itu, Mahkamah beralasan acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding (baik oleh pemohon atau termohon). MK menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. “Ketentuan itu tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Mahkamah berpendapat untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP terdapat dua alternatif. Pertama, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding. Atau, kedua, menghapuskan hak penyidik/penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.
Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat adalah untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka, terdakwa, penyidik, dan penuntut umum. Karena itu pula, pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak itu, maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum. Sedangkan permohonan pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum,” kata Ahmad Sodiki.
PENDAFTARAN GUGATAN
Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri
Diana Kusumasari (hukumonline)
Secara umum, untuk gugatan perdata, pengajuan gugatan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
Namun, penerapan asas tersebut tidaklah mutlak, lebih jauh diuraikan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, yakni:
1. Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat);
2. Actor Sequitur Forum Rei
dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan
diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat
atas pilihan penggugat);
3. Actor Sequitur Forum Rei
Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal
(dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal,
sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan
diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal);
4. Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui);
5. Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa);
6. Kompetensi
Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para pihak dalam perjanjian
dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih
Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa
yang timbul dari perjanjian);
7. Negara
atau Pemerintah dapat Digugat pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah
Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara,
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di mana departemen yang
bersangkutan berada).
Mengutip pendapat salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sujatmiko, sebenarnya tidak ada keharusan untuk mendaftarkan gugatan yang tergugatnya di luar negeri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, untuk tergugat yang berada di luar negeri, menurut Sujatmiko, berlaku Pasal 118 ayat (3) HIR yang menentukan gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat (sebagaimana disebut dalam poin 4 di atas). Dan selanjutnya Ketua PN menyampaikan gugatan tersebut melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri untuk memanggil tergugat yang berada di luar negeri.
Lebih
jauh Sujatmiko menjelaskan, karena Direktorat Jenderal Protokol ini
berlokasi di Jakarta Pusat, maka pada umumnya gugatan terhadap tergugat
yang berada di luar negeri, diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meskipun misalnya penggugat ternyata mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Cirebon (contoh), pemanggilan tergugat juga akan melalui delegasi
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kemudian gugatan tersebut disampaikan melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri.
Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Kemudian, Ketua Pengadilan
menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Jadi,
kami simpulkan bahwa tidak ada keharusan bahwa gugatan terhadap tergugat
yang berada di luar negeri harus diajukan/didaftarkan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Sujatmiko melalui hubungan telepon pada 30 April 2012.
Dasar Hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227);
2. Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);
Langganan:
Postingan (Atom)