Ketidaknetralan Aparat Negara/Pemerintah dalam Pemilukada Diancam Pidana
(www. mahkamahkonstitusi.go.id)
Mahkamah Konstitusi memutuskan
konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…”
dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. “Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam
Pasal 116 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda juga dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) UU Pemda selengkapnya harus
dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam
jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’,” urai Mahfud membacakan amar
putusan. Pasal 83 yang dirujuk oleh Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur
mengenai “dana kampanye” yang tiada kaitan sama sekali dengan pejabat
negara/PNS/kepala desa, tetapi Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur
larangan bagi aparat negara/ pemerintah yang selengkapnya berbunyi,
“Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan
negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Hal inilah yang dianggap
kesalahan merujuk pasal. Sedangkan Pasal 80 UU Pemda yang diminta MK
untuk dirujuk karena konstitusional, adalah mengatur mengenai pejabat
negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan
kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikah salah satu pasangan calon selama masa
kampanye. Putusan dengan nomor 17/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim
konstitusi lainnya pada Selasa (1/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini dimohonkan oleh Heriyanto selaku Tim Asisten Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mahkamah berpendapat Pemohon mengajukan
pengujian konstitusional frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83”
dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut
karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat
negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan
kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye,
melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur
tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan
fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Oleh karena
itu, untuk menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam
norma karena terjadinya kesalahan dalam merujuk pasal, Mahkamah perlu
memberikan kepastian hukum guna menegakkan keadilan dengan menyatakan
bahwa frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat
(4) UU 32/2004 harus dibaca “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum,”
ujar salah satu hakim konstitusi. Dalam konklusi, Mahkamah berkesimpulan
bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon. “Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo. Pokok permohonan beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu
Anjarsari/Miftakhul Huda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar