Selasa, 01 Mei 2012

APARAT PEMERINTAH/NEGARA TIDAK NETRAL, DIPIDANA

 Ketidaknetralan Aparat Negara/Pemerintah dalam Pemilukada Diancam Pidana
(www. mahkamahkonstitusi.go.id)


Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…” dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) UU Pemda selengkapnya harus dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’,” urai Mahfud membacakan amar putusan. Pasal 83 yang dirujuk oleh Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur mengenai “dana kampanye” yang tiada kaitan sama sekali dengan pejabat negara/PNS/kepala desa, tetapi Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur larangan bagi aparat negara/ pemerintah yang selengkapnya berbunyi, “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Hal inilah yang dianggap kesalahan merujuk pasal. Sedangkan Pasal 80 UU Pemda yang diminta MK untuk dirujuk karena konstitusional, adalah mengatur mengenai pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikah salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Putusan dengan nomor 17/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (1/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini dimohonkan oleh Heriyanto selaku Tim Asisten Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mahkamah berpendapat Pemohon mengajukan pengujian konstitusional frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma karena terjadinya kesalahan dalam merujuk pasal, Mahkamah perlu memberikan kepastian hukum guna menegakkan keadilan dengan menyatakan bahwa frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 harus dibaca “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum,” ujar salah satu hakim konstitusi. Dalam konklusi, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon. “Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/Miftakhul Huda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar