Jumat, 21 Desember 2012

PRESS RELEASE “JANGAN LUPAKAN ROHINGYA”

PRESS RELEASE
“JANGAN LUPAKAN ROHINGYA”

MEMPERINGATI HARI HAM SEDUNIA
10 DESEMBER 2012

Genap 64 (enam puluh empat) tahun sudah hari lahirnya Hak Asasi Manusia (“HAM”) sedunia  diperingati. Tanggal 10 Desember sebagai hari HAM sedunia merupakan tonggak kelahiran perlindungan hak asasi manusia serta pengakuan yang universal terhadap hak asasi bangsa-bangsa di dunia yang kemudian melahirkan deklarasi internasional tentang HAM yaitu
Universal Declaration of Human Rights.
Pengakuan HAM secara universal tersebut merupakan konsep ideal yang mengakui dan memberikan kedudukan setiap warga negara sama hak-haknya baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep pengakuan dan perlindungan HAM secara internasional juga berupaya menghilangkan secara bentuk kekejaman, pembunuhan, pemusnahan etnis (genoside), segala bentuk diskriminasi, maupun memberikan hak-hak dasar sebagai warga negara, salah satunya yaitu hak atas status kewarganegaraan.

Kenyataan yang terjadi, Deklarasi HAM Internasional ini tidak berjalan sesuai konsep yang diidealkan tersebut, khususnya bagi etnis Rohingya (“Rohingya”) di Arakan – Myamnar. Sejak berpuluh-puluh tahun mereka diusir dari tempat kelahirannya oleh etnis mayoritas di Myanmar dan juga oleh Pemerintah Myanmar, karena dianggap bukan sebagai bangsa Myanmar. Bahkan oleh pemerintah Myanmar melalui undang-undang, mereka tidak diakui sebagai etnis, dan pada 1982 melalui undang-undang pula, mereka tidak lagi diakui sebagai warga negara atau saat ini Rohingya tidak mempunyai status kewarganegaraan (
stateless). Padahal Rohingya telah ada berabad-abad lamanya jauh sebelum negara Myanmar merdeka dan mereka juga pernah ikut berkontribusi dalam pemerintahan, dimana orang Rohingya pernah menjabat sebagai menteri di pemerintahan Myanmar. Kondisi yang lebih menyedihkan, Rohingya dibunuh secara massal dan dipaksa keluar dari Arakan melalui cara-cara yang tidak manusiawi, rumahnya dibakar, wanitanya diperkosa, dan anak-anak dibunuh. Kondisi yang mengerikan ini yang membuat Rohingya tersebut terpaksa harus menyelamatkan diri dengan perahu-perahu tua menyebrang ke negara tetangga seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Namun, di negara tetangga pun mereka terusir sehingga harus hidup di atas perahu berhari-hari dan berminggu-minggu, yang menyebabkan ratusan Rohingya meninggal di atas perahu.
Kondisi ini sampai dengan hari ini masih berlangsung, penderitaan Rohingya belum berakhir dan bahkan semakin memprihatinkan, karena kekejaman terhadap Rohingya masih terjadi di Arakan dan juga di penampungan. Mereka hidup dalam kemiskinan yang parah, bahkan PBB setelah mengunjungi pengungsian Rohingya mengatakan, pengungsian Rohingya adalah pengungsian yang paling memprihatinkan dan termiskin di dunia. Oleh karenanya, jangan lupakan Rohingya ! Jangan biarkan pelanggaran HAM berat di Arakan yang dilakukan oleh etnis Mayoritas dan Pemerintah Myanmar terhadap Rohingya tersebut terus berlangsung.

PAHAM INDONESIA sebagai lembaga yang
concern terhadap pembelaan hak asasi manusia akan terus mengkampanyekan dan mendorong pemerintah Indonesia, ASEAN, PBB, dan
stakeholder lainnya untuk segera menghentikan kekejaman terhadap Rohingya dan mengembalikan mereka ke Arakan, hidup secara damai dan aman, dengan segala hak-haknya yang melekat sebagai warga negara demi tegak dan terwujudnya penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan
Universal Declaration of Human Rights.
Save Rohingya Save Humanity.
Jakarta, 10 Desember 2012
PAHAM INDONESIA



Nasrulloh Nasution, SH
Direktur Eksekutif
http://www.pahamindonesia.org/publikasi/pernyataan-sikap-paham/134-jangan-lupakan-rohingya.html
Sekretaris BPU DPW PKS NTB
Pin BB : 2A06A758

Selasa, 04 September 2012

GRATIFIKASI

GRATIFIKASI

Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pasal 5 UU Tipikor

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12 UU Tipikor

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;


Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;

6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap.


Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:


Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


Informasi lebih lanjut mengenai gratifikasi dapat dibaca dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Di dalam buku tersebut (hal. 19) diuraikan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:

1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya

2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut

3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma

4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan

5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat

6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan

7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja

8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu


Akan tetapi, menurut Pasal 12C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi (Pasal 12C ayat [2] UU Tipikor).


Jadi, ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya.


Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Selasa, 05 Juni 2012

Hibah Wasiat

 
oleh : Try Indriadi 
 
1.      Dalam hal pewaris atau orang tua masih hidup, dapat dilakukan suatu pembagian harta warisan dengan cara pembuatan hibah wasiat. Hibah wasiat menurut Pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.
 
Menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam bukunya yang berjudul Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (hal. 63), pada dasarnya, hibah wasiat adalah sama dengan hibah biasa, tetapi ada satu hal penting yang menyimpang dari hibah biasa, yaitu ketentuan bahwa pemberi hibah masih hidup. Sedangkan dalam hibah wasiat, pemberian hibah justru baru berlaku pada saat pemberi hibah meninggal dunia.
 
2.      Mungkin yang Anda maksudkan adalah pembuatan surat hibah wasiat karena pembagian warisan ingin dibuat pada saat orang tua masih hidup. Pembuatan surat wasiat diatur di dalam Buku ke-2 Bab XIII Bagian Empat mengenai Bentuk Surat Wasiat KUHPerdata. Bentuk-bentuk surat wasiat tersebut, antara lain:
-         Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPerdata);
-         Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPerdata);
-         Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel (lihat Pasal 940 KUHPerdata).
 
3.      Dalam hal pembuatan surat wasiat, perlu adanya saksi dengan ketentuan sebagai berikut:
-         Pada pembuatan surat wasiat olografis dibutuhkan dua orang saksi. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut, pada saat pewaris menitipkan surat waris, kemudian notaris langsung membuat akta penitipan (akta van de pot) yang ditandatangani oleh notaris, pewaris, serta dua orang saksi dan akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel.
-         Pada pembuatan surat wasiat dengan akta umum dibutuhkan dua orang saksi. Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang saksi.
-         Pada pembuatan surat wasiat dengan keadaan tertutup dibutuhkan empat orang saksi. Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.
 
4.      Dalam hal pembuatan surat wasiat oleh Ibu Anda pada saat kedua orang tua masih hidup, perlu adanya persetujuan dari Ayah Anda. Hal ini mengacu pada pengaturan mengenai harta bersama, yaitu:
 
Pasal 36 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang berbunyi:
 
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak” ();
 
Akan tetapi, apabila rumah tersebut adalah harta bawaan Ibu Anda, maka tidak perlu adanya persetujuan dari Ayah Anda. Hal ini mengacu pada pengaturan mengenai harta bawaan yaitu:
 
Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan, yang berbunyi:
 
Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya.
 
5.      Dalam pembuatan surat wasiat harus dilakukan atau dititipkan kepada notaris. Dengan demikian, surat wasiat harus dibuat dengan akta otentik sesuai  dengan pengaturan pada Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi:
 
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
 
Demikian sejauh yang kami pahami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 1847 No. 23);


www.hukumonline.com
 

Senin, 21 Mei 2012

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
 
Apakah sama unsur onrechtmatige daad dengan onrechtmatige overheidsdaad? Dan kebijakan penguasa seperti apa yang bisa dan tidak bisa digugat di PN? Mohon penjelasannya.

oleh : Ali Salmande

Baik Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) diatur oleh ketentuan atau dasar hukum yang sama. Yakni, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
 
Pasal 1365 KUHPer berbunyi, ‘Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
 
Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;
(1)   adanya perbuatan;
(2)   perbuatan itu melawan hukum;
(3)   adanya kerugian;
(4)   adanya kesalahan; dan
(5)   adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
 
Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal perbuatan melawan hukum (“PMH”).
 
Perbedaan antara PMH dengan PMH oleh penguasa hanya terletak pada subjeknya. Bila dalam PMH biasa, subjeknya adalah perorangan atau badan hukum. Sedangkan, PMH oleh penguasa harus dilakukan oleh penguasa. Lalu, siapa yang bisa termasuk kategori penguasa?
 
Ujang Abdullah saat menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) Palembang pernah menulis makalah yang berjudul ‘Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa’. Dalam makalah tersebut dijelaskan antara lain bahwa pengertian penguasa tidak hanya meliputi instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawan Presiden akan tetapi termasuk juga Badan/Pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan.
 
Peraturan perundang-undangan tak mengatur secara spesifik kebijakan atau PMH oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda ketahui, selain di peradilan umum, PMH oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN.
 
Nah, di PTUN ini, kebijakan penguasa apa saja yang bisa digugat diatur secara spesifik. Yakni, Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009). Artinya, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret, individual, dan final tidak bisa digugat ke Pengadilan Negeri karena sudah ada forum lain, yaitu PTUN yang berwenang memeriksanya.
 
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

www.hukumonline.com

Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi

Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi
 
Apakah perbedaan yang mendasar antara tindak pidana penggelapan dengan tindak pidana korupsi dalam ruang lingkup perusahaan?

oleh Anandito Utomo, DH

Untuk dapat memahami perbedaan antara tindak pidana penggelapan dengan korupsi, terlebih dahulu kita lihat mengenai pengertian penggelapan yang termuat dalam Pasal 372 KUHP, yakni:
 
Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah
 
Selanjutnya, kita lihat pengertian tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
 
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
 
Dari penjelasan dua pasal di atas terlihat bahwa perbedaan mendasar antara kedua tindak pidana tersebut adalah adanya kerugian negara. Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
 
Jadi, dalam lingkup perusahaan perlu diteliti terlebih dahulu mengenai dampak kerugian atas suatu tindak pidana penggelapan tersebut apakah mengakibatkan kerugian negara atau tidak. Jika ya, maka perbuatan tersebut bukanlah penggelapan melainkan korupsi.
 
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

www.hukumonline.com
 

Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?

Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?
 
Aku memang tidak mengerti tentang hukum, pasal-pasal. Yang menjadi pertanyaan saya: 1. Apakah ini dikategorikan sebagai penggelapan jika seseorang Atasan (seorang lawyer) memberi dengan sukarela uang kepada bawahannya (tanpa ada hitam di atas putih) untuk membantu uang muka pembelian mobil bawahan tersebut? 2. Apakah berhak atasan itu menyangkal, dan menuduh bawahannya menggelapkan dan merugikan diri (atasannya)? Terima kasih.

OLEH diana kusumasari

1.      Dari penjelasan Anda, menurut kami, tidak ada pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh karyawan (bawahan) tersebut jika memang uang itu diberikan secara sukarela (cuma-cuma).
 
Karena perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
 
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
 
Sehingga, yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. 
 
Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri.
 
Dalam hal ini, perlu dilihat apakah karyawan yang Anda maksudkan memang dalam pekerjaannya menguasai uang itu (misal: pemegang petty cash). Jika dalam pekerjaannya dia menguasai sejumlah dana, memang dimungkinkan dapat dilaporkan karena penggelapan ketika uang tersebut kemudian digunakan. Namun, untuk karyawan tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku penggelapan, harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan demikian.
 
Sebaliknya, jika uang tersebut bukan dititipkan atau dimiliki oleh karyawan karena diberikan secara sukarela tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan, maka unsur-unsur penggelapan tidak terpenuhi. Pemberian uang tersebut lebih memenuhi unsur Pasal 1687Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni sebagai  pemberian hadiah.
 

2.      Atasan tersebut tidak seharusnya menyangkal (telah memberikan secara sukarela sejumlah uang kepada bawahannya), dan menuduh bawahannya melakukan penggelapan dan merugikan dirinya tanpa adanya bukti-bukti yang cukup membuktikan bahwa uang tersebut digelapkan dan bukan diberikan secara cuma-cuma.
 
Jika benar uang tersebut diberikan cuma-cuma namun kemudian karyawan tersebut dituduh menggelapkan, atasannya dimungkinkan untuk dilaporkan karena pencemaran nama baik 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).

www.hukumonline.com

PENGGELAPAN DAN PENIPUAN

Penggelapan dan Penipuan
OLEH arsil

Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
 
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
 
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
 
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang.
 
Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
 
Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A.
 
Di bawah ini kami kutipkan pengaturan penggelapan dan penipuan dalam KUHP.
 
Boks: Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
 
Perbuatan
KUHP
Rumusan
Penggelapan
pasal 372
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Penipuan
pasal 378
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 
Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
www.hukumonline.com