Selasa, 20 Januari 2009

TELAAH KRITIS
 HUKUM REPRESIF, HUKUM OTONOM, DAN HUKUM RESPONSIF

PENDAHULUAN
 Tipe hukum yang represif, otonom dam responsif merupakan konsep-konsep yang abstrak yang sumber referensi empiriknya kerap kali sukar dipahami. Hal yang sama terjadi dalam tipologi ilmu sosial manapun, termasuk klasifikasi kepribadiannya.
 Ketiga tipe hukum tersebut muncul karena keterbatasan-keterbatasan atau kelemahan-kelemahan tipe hukum yang lain. Hal ini disebabkan karena tidak ada tertib hukum yang kompleks atau bagian dari padanya yang bisa membentuk suatu sistem yang benar-benar koheren, yang saling bertalian secara logis. Tertib hukum atau institusi hukum apapun cenderung memiliki karakter campuran yang menggabungkan aspek-aspek ketiga tipe hukum tersebut. 
PENGERTIAN 
 Hukum Represif adalah hukum yang melayani dan tunduk kepada penguasa (feodalisme) dan mengendalikan seluruh kehidupan rakyat untuk menciptakan, melaksanakan serta memperkuat kontrol terhadap setiap kegiatan masyarakat. Tipe hukum ini bertujuan mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali diterapka dengan dalih menjamin ketertiban. Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali peguasa atau pembuat hukum.
 Hukum otonom adalah hukum sebagai suatu pranata yang setia menjaga kemandirian hukum itu sendiri.karena sifatnya yang mandiri, maka yang dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara kekuasan dan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan prosedural hukum yang bebas dari pengaruh politik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan.
 Hukum responsif adalah hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari suatu sistem peratura belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Artinya bahwa melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

SUMBER DAN TOKOH
 Ketiga tipe hukum tersebut di atas kita kaitkan dengan sumber-sumber kekuasaan, maka nampak ada keterkaitannya. Sumber-sumber kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
 Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
 Dari kempat sumber kekuasaan atau kedaulatan tersebut terlihat bahwa hukum represif sangat identik dengan kedaulatan raja dan negara. Tipe hukum otonom identik dengan kedaulatan hukum. Sedangkan tipe hukum responsif sangat identik dengan kedaulatan rakyat.
 Hukum represif dapat kita sebut juga sebagai rezim otoritarian. Para tokoh yang identik dengan hukum represif adalah Thomas Hobbes, Jhon Austin dan Karl Marx. Menurut mereka hukum merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya memiliki diskresi yang tidak terbatas, hukum dan negara tidak dapat dipisahkan.
 Hukum otonom dalam istilah lain dapat disebut sebagai hukum positif atau hukum normatif (legal realism), karena tipe hukum ini egois karena lebih mementingkan dirinya sendiri. Identik juga dengan teori dari A.V. Dicey yang dikenal sebagai rule of law. Para tokoh yang identik dengan tipe hukum otonom ini antara lain A.V. Dicey, Hans Kelsen.
 Hukum responsif merupakan teori hukum yang tergolong sociological jurisprudence. Sociological jurisprudence merupakan pendekatan filosofis terhadap hukum yang menekankan pada upaya rancang bangun hukum yang relevan secara sosial. Dengan kata lain sociological jurisprudence merupakan ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologi. Aliran ini memberi perhatian pada dampak sosial yang nyata dari institusi, doktrin, dan praktik hukum. Jadi hukum responsif dapat kita sebut juga sebagai hukum empiris. Para tokohnya antara lain Roscoe Pound, Nonet dan Selznick serta Sajipto Raharjo.
KELEMAHAN
 Hukum represif memberikan keamanan dan ketertiban yag semu bagi obyeknya. Peran serta obyek yang tidak ada sama sekali. Hal ini menimbulkan kebungkaman bagi obyek untuk melakukan kritisasi. Sehingga hal ini akan menimbulkan legitimasi yang lemah dari obyek terhadap kekuasaan dan peraturan yang dibentuk. Ini sebagai akibat dari mudahnya hukum di utak atik sesuai dengan keinginan penguasa.
 Hukum otonom lebih mengedepankan prosedural hukum dan mengesampingkan substansi dari hukum itu sendiri. Yang lebih ditonjolkan adalah kepastian hukum (rule of law). Kepatuhan hanya pada hukum positif saja tidak pada yang lain. Kreatifitas dibatasi oleh hukum. Nilai-nilai sosial dikesampingkan. Jadi hukum otonom adalah hukum yang egois, hukum yang steril dari pengaruh sosial. Hal ini akan mengakibatkan ketidakadilan dan menimbulkan penegakan hukum yang hanya bersifat normatif belaka.
 Hukum responsif merupakan hukum yang menitikberatkan pada respon sosial dari masyarakat atau hukum yang terbuka bagi masyarakat (empiris). Respon yang berlebiha dari obyek akan menimbulkan proses pembentukkan peraturan hukum yang berlangsung lama, memudahkan terjadinya amandemen terhadap sebuah peraturan dan kepastian hukum yang tidak jelas dan mudah menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
PERSAMAAN
 Dari ketiga tipe hukum tersebut ada beberapa persamaan yang tidak bisa terpisahkan, yaitu :
1. memiliki daya paksa dalam penerapannya, tapi porsentase besarnya daya paksa berbeda-beda.
2. subyek yang sama yaitu penguasa atau pemerintah. Tanpa adanya subyek, maka ketiga tipe hukum tersebut tidak akan berjalan dengan baik karena tidak ada yang menegakkannya.
3. obyek yang sama, yaitu masyarakat atau rakyat. Tanpa adanya obyek maka tidak ada tempat untuk menerapkan hukum tersebut. 
4. ketiga tipe hukum tersebut saling melengkapi satu sama lain, karena tidak ada satupun dari tipe hukum tersebut yang sempurna.
 Jadi, tipe hukum manakah yang cocok bagi Bangsa Indonesia? Melihat kelebihan dan kekurangan dari ketiga tipe hukum tersebut maka tipe hukum campuran dari ketiganya perlu untuk dicoba di indonesia. Tentu dengan terlebih dahulu merajut nilai-nilai positif yang tertuang dalam ketiga tipe tersebut menjadi sebuah sistem hukum pro rakyat dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya. 


























Daftar Pustaka

Bernard L. Tanya dkk, 2006, ”Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. KITA.
Nonet dan Selznick, 2007, ”Hukum Responsif”, Bandung: Nusamedia.
Teguh Prasetyo dkk, 2007, “Ilmu Hukum & Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tri Widodo W. Utomo, Makalah: “Pembatasan Kekuasaan Pemerintah dan Pemberdayaan Demos”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar