Senin, 21 Mei 2012

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
 
Apakah sama unsur onrechtmatige daad dengan onrechtmatige overheidsdaad? Dan kebijakan penguasa seperti apa yang bisa dan tidak bisa digugat di PN? Mohon penjelasannya.

oleh : Ali Salmande

Baik Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) diatur oleh ketentuan atau dasar hukum yang sama. Yakni, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
 
Pasal 1365 KUHPer berbunyi, ‘Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
 
Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;
(1)   adanya perbuatan;
(2)   perbuatan itu melawan hukum;
(3)   adanya kerugian;
(4)   adanya kesalahan; dan
(5)   adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
 
Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal perbuatan melawan hukum (“PMH”).
 
Perbedaan antara PMH dengan PMH oleh penguasa hanya terletak pada subjeknya. Bila dalam PMH biasa, subjeknya adalah perorangan atau badan hukum. Sedangkan, PMH oleh penguasa harus dilakukan oleh penguasa. Lalu, siapa yang bisa termasuk kategori penguasa?
 
Ujang Abdullah saat menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) Palembang pernah menulis makalah yang berjudul ‘Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa’. Dalam makalah tersebut dijelaskan antara lain bahwa pengertian penguasa tidak hanya meliputi instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawan Presiden akan tetapi termasuk juga Badan/Pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan.
 
Peraturan perundang-undangan tak mengatur secara spesifik kebijakan atau PMH oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda ketahui, selain di peradilan umum, PMH oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN.
 
Nah, di PTUN ini, kebijakan penguasa apa saja yang bisa digugat diatur secara spesifik. Yakni, Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009). Artinya, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret, individual, dan final tidak bisa digugat ke Pengadilan Negeri karena sudah ada forum lain, yaitu PTUN yang berwenang memeriksanya.
 
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

www.hukumonline.com

Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi

Perbedaan Antara Penggelapan dengan Korupsi
 
Apakah perbedaan yang mendasar antara tindak pidana penggelapan dengan tindak pidana korupsi dalam ruang lingkup perusahaan?

oleh Anandito Utomo, DH

Untuk dapat memahami perbedaan antara tindak pidana penggelapan dengan korupsi, terlebih dahulu kita lihat mengenai pengertian penggelapan yang termuat dalam Pasal 372 KUHP, yakni:
 
Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah
 
Selanjutnya, kita lihat pengertian tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
 
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
 
Dari penjelasan dua pasal di atas terlihat bahwa perbedaan mendasar antara kedua tindak pidana tersebut adalah adanya kerugian negara. Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
 
Jadi, dalam lingkup perusahaan perlu diteliti terlebih dahulu mengenai dampak kerugian atas suatu tindak pidana penggelapan tersebut apakah mengakibatkan kerugian negara atau tidak. Jika ya, maka perbuatan tersebut bukanlah penggelapan melainkan korupsi.
 
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

www.hukumonline.com
 

Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?

Apakah Termasuk Penggelapan Jika Memakai Uang Pemberian Atasan?
 
Aku memang tidak mengerti tentang hukum, pasal-pasal. Yang menjadi pertanyaan saya: 1. Apakah ini dikategorikan sebagai penggelapan jika seseorang Atasan (seorang lawyer) memberi dengan sukarela uang kepada bawahannya (tanpa ada hitam di atas putih) untuk membantu uang muka pembelian mobil bawahan tersebut? 2. Apakah berhak atasan itu menyangkal, dan menuduh bawahannya menggelapkan dan merugikan diri (atasannya)? Terima kasih.

OLEH diana kusumasari

1.      Dari penjelasan Anda, menurut kami, tidak ada pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh karyawan (bawahan) tersebut jika memang uang itu diberikan secara sukarela (cuma-cuma).
 
Karena perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
 
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
 
Sehingga, yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. 
 
Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri.
 
Dalam hal ini, perlu dilihat apakah karyawan yang Anda maksudkan memang dalam pekerjaannya menguasai uang itu (misal: pemegang petty cash). Jika dalam pekerjaannya dia menguasai sejumlah dana, memang dimungkinkan dapat dilaporkan karena penggelapan ketika uang tersebut kemudian digunakan. Namun, untuk karyawan tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku penggelapan, harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan demikian.
 
Sebaliknya, jika uang tersebut bukan dititipkan atau dimiliki oleh karyawan karena diberikan secara sukarela tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan, maka unsur-unsur penggelapan tidak terpenuhi. Pemberian uang tersebut lebih memenuhi unsur Pasal 1687Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni sebagai  pemberian hadiah.
 

2.      Atasan tersebut tidak seharusnya menyangkal (telah memberikan secara sukarela sejumlah uang kepada bawahannya), dan menuduh bawahannya melakukan penggelapan dan merugikan dirinya tanpa adanya bukti-bukti yang cukup membuktikan bahwa uang tersebut digelapkan dan bukan diberikan secara cuma-cuma.
 
Jika benar uang tersebut diberikan cuma-cuma namun kemudian karyawan tersebut dituduh menggelapkan, atasannya dimungkinkan untuk dilaporkan karena pencemaran nama baik 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).

www.hukumonline.com

PENGGELAPAN DAN PENIPUAN

Penggelapan dan Penipuan
OLEH arsil

Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
 
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
 
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
 
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang.
 
Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
 
Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A.
 
Di bawah ini kami kutipkan pengaturan penggelapan dan penipuan dalam KUHP.
 
Boks: Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
 
Perbuatan
KUHP
Rumusan
Penggelapan
pasal 372
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Penipuan
pasal 378
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 
Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
www.hukumonline.com

Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri

Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri


 
Secara umum, untuk gugatan perdata, pengajuan gugatan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
 
Namun, penerapan asas tersebut tidaklah mutlak, lebih jauh diuraikan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, yakni:
1.    Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat);
2.    Actor Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat);
3.    Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal (dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal);
4.    Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui);
5.    Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa);
6.    Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian);
7.    Negara atau Pemerintah dapat Digugat pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di mana departemen yang bersangkutan berada).
 
Mengutip pendapat salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sujatmiko, sebenarnya tidak ada keharusan untuk mendaftarkan gugatan yang tergugatnya di luar negeri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, untuk tergugat yang berada di luar negeri, menurut Sujatmiko, berlaku Pasal 118 ayat (3) HIR yang menentukan gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat (sebagaimana disebut dalam poin 4 di atas). Dan selanjutnya Ketua PN menyampaikan gugatan tersebut melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri untuk memanggil tergugat yang berada di luar negeri.
 
Lebih jauh Sujatmiko menjelaskan, karena Direktorat Jenderal Protokol ini berlokasi di Jakarta Pusat, maka pada umumnya gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri, diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meskipun misalnya penggugat ternyata mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Cirebon (contoh), pemanggilan tergugat juga akan melalui delegasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kemudian gugatan tersebut disampaikan melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri.
 
Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Kemudian, Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
 
Jadi, kami simpulkan bahwa tidak ada keharusan bahwa gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri harus diajukan/didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.
 
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Sujatmiko melalui hubungan telepon pada 30 April 2012.
 
Dasar Hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227);
2. Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);

Senin, 14 Mei 2012

Proses Divestasi 24 Persen Saham Newmont Bermasalah
11 Mai 2012
 
ICW mengingatkan, negara banyak dirugikan melalui divestasi 24 persen saham Newmont tersebut.

Lupakan sejenak perselisihan antara pemerintah dan DPR soal divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang tinggal menanti keputusan Mahkamah Konstitusi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan ada hal yang lebih penting yang harusnya dipersoalkan, yakni bagaimana proses divestasi 24 persen saham Newmont oleh pemerintah daerah.  

Berdasarkan hasil penelusuran ICWdan penemuan anggota DPRD Sumbawa, ditemukan ada perbedaan dividen secara tertulis dan implementasinya. Pada perjanjian kerjasama tersebut, terutama pasal 8 tentang pembagian dividen, disebutkan bahwa pihak pertama yakni PT Daerah Maju Bersaing (DMB) akan mendapatkan dana talangan sebagai dividen awal sebesar USD4.000.000 dari pihak kedua yakni PT. Multi Capital. Ini artinya, pihak kedua telah memberikan piutang kepada pihak pertama yang disebut sebagai advance dividen.

Menurut anggota DPRD Sumbawa Fitrah Rino yang telah memanggil pihak PT DMB dan PT Multi Capital, pihak PT Multi Capital memberikan saham kepada PT DMB tanpa harus menanggung utang. Jadi, persoalan pembelian saham tersebut menjadi sepenuhnya urusan PT Multi Capital dan di luar tanggungjawab PT DMB. Tetapi pada kenyataanya, PT DMB tercatat memiliki utang kepada PT Multi Capital yang semakin hari jumlahnya semakin menumpuk. Hingga 2011, tercatat bahwa PT DMB selaku BUMD memiliki utang sebesar Rp241,368 miliar.

“Tahun 2010 utang PT DMB sebesar Rp26,509 miliar,” kata peneliti ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (10/5).

Selain itu, Firdaus juga menemukan fakta bahwa dividen yang dibayarkan kepada daerah (PT DMB) sebenarnya hanyalah sebagai angsuran utang atas dana talangan awal yang telah diberikan kepada PT DMB. Seharusnya, kata Firdaus, dividen yang diterima oleh daerah pada tahun 2010 adalah sebesar USS55.541.814. Angka ini didapat dari besarnya saham PT DMB 25 persen dari total keuntungan yang didapat PT NTT yakni Rp2.010.943.808.000. Total keuntungan didapat dari laporan keuangan PT Bumi Resources.

Tetapi nyatanya, pemerintah daerah hanya mendapatkan dividen pada tahun 2011 sebesar US$34 juta dan kemudian dikurangi dengan jumlah utang pada tahun 2011 sebesar Rp26.509 Juta. Sehingga dividen yang diterima adalah USS7,382 juta atau setara dengan Rp66,943 milliar.

“Jadi tidak ada dividen, tapi yang ada hanya angsuran utang,” tegas Firdaus.

Perlu dijelaskan, PT DMB merupakan perusahaan milik daerah yang dibentuk guna mewakili kepemilikan 24 persen saham di NNT. Pembentukan PT DMB ini merupakan hasil dari nota kesepahaman antara PT Bumi Resources (BR) dengan pemerintah daerah provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tentang pembelian saham program divestasi PT NNTyang disetujui pada 16 Maret 2007.

Kemudian, pada 18 Maret 2009, PT BR meneken perjanjian kerjasama antara gubernur NTB, Bupati Sumbawa Barat dan Sumbawa terkait pendirian perusahaan patungan yang diberi nama PT DMB. Kemudian, PT BR membentuk anak usaha yaitu PT Multi Capital dengan meneken kembali sebuah nota kesepahaman antara PT DMB dan Multi Capital. Lalu, pada 23 Juli 2009 dibuatlah perjanjian kerjasama antara PT DMB dan PT Multi Capital yang menjadi awal malapetaka. Perjanjian tersebut menjelaskan bahwa PT DMB hanya memiliki bagian 25 persen saham, sementara PT Multi Capital sebesar 75 persen.

Tidak hanya dari sisi dividen. Ternyata, pelanggaran pun terjadi pada pembentukan PT DMB ini. BUMD tersebut dianggap cacat hukum karena terbentuk tanpa adanya aturan yang mengatur tentang pembentukannya. Seharusnya, jelas Firdaus, setiap PT yang dibentuk atas nama milik daerah harus disertakan dengan aturan yang jelas yang disebut dengan peraturan daerah (Perda). Tetapi, Perda mengenai terbentuknya PT ini baru terbit setelah satu tahun pembentukannya.

“Pembentukannya cacat hukum dan bukan BUMD namanya tapi milik swasta,” terangnya.

Berdasarkan kecurangan-kecurangan tersebut, diduga negara telah banyak dirugikan melalui divestasi 24 persen PT NNT tersebut. Mirisnya, pemerintah seakan tak peduli bahkan tidak mengawasi proses divestasi tersebut serta proses pembentukan Perda. Untuk itu, ICW meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terkait proses divestasi 24 persen saham PT NNT juga perjanjian kerjasama antara BUMD dengan PT Multi Capital. Jika tidak, maka dapat dipastikan negara akan mengalamin kerugian yang sangat besar.

Selain itu, ICW juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berperan aktif untuk mendalami kerugian negara dari proses dan perjanjian kerjasama tersebut. Serta menindaklanjuti laporan ICW terkait dugan kerugian negara dari royalty PT NNT tahun buku 2004-2010 sebesar US$237.400.606.

Fitrah Rino menambahkan, pihaknya telah melaporkan hal ini kepada BPK dan KPK. Ia berharap agar permasalahan ini segera ditindaklanjuti. Dia menyayangkan, jika divestasi 24 persen PT NTT yang juga menyertakan dana daerah harus dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

“Daerah dirugikan dengan divestasi 24 persen saham PT NNT ini,” sesalnya.

Dia juga mempertanyakan, kemana lari dana talangan awal yang disetorkan oleh PT Multi Capital kepada PT DMB yang hingga saat ini disebut dengan utang. Apalagi, pembayaran dividen yang diberikan oleh PT Multi Capital selalu terlambat satu tahun dari jatuh tempo yang seharusnya dibayarkan. “Karena total keuntungan harus diberikan ke PT Bumi Resourses dan mereka yang memutuskan akan disetorkan atau untuk membayar utang,” sergahnya.

Selain itu, para pejabat yang menduduki beberapa jabatan penting di PT DMB pun berasal dari PT Multi Capital dan PT Bumi Resources. Empat di antara tujuh dewan komisaris merupakan pihak dari PT Multi Capital dan PT Bumi Resources.

sumber : Hukumonline.com

Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan

Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan
oleh

1.    Terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.

Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.

R. Soesilo dalam bukunya dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:

a.      Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
b.      Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.

Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).

Lebih lanjut, Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284 KUHP, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.

Di sisi lain, tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Dari rumusan Pasal 285 KUHP di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.

Jadi, tidak semua pasal dalam KUHP tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur.

2.      Ketentuan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak).

Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dari rumusan Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Rabu, 02 Mei 2012

Mundur bagi PNS Saat Mencalonkan Diri


Keharusan Mundur bagi PNS Saat Mencalonkan Diri Sebagai Anggota DPD, Konstitusional!

(www.mahkamahkonstitusi.go.id)

 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kewajiban mengundurkan diri bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan ikut pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah bukanlah pelanggaran hak konstitusional. “Keharusan mengundurkan diri itu bukanlah mengurangi hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 melainkan merupakan konsekuensi yuridis dari pilihan yang bersangkutan untuk berpindah dari birokrasi pemerintahan ke dalam jabatan politik yaitu untuk menjadi anggota DPD,” tegas Mahkamah dalam putusannya nomor 45/PUU-VIII/2010, yang dibacakan pada Selasa (1/5) sore, di ruang sidang Pleno MK.
Pengujian Pasal 12 huruf k berikut Penjelasannya dan Pasal 67 ayat (2) huruf h Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini dimohonkan oleh Muhammad Abduh Zen. Dalam permohonannya, dia mengaggap ketentuan tersebut adalah bertentangan dengan hak persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, keharusan bagi PNS untuk mengundurkan diri jika mencalonkan diri dalam pemilihan anggota DPD bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pembatasan hak asasi dengan UU dan perspektif sebagai kewajiban hukum. Dari perspektif pembatasan HAM, keharusan mengundurkan diri tersebut merupakan pembatasan HAM berdasarkan undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yakni bahwa HAM dapat dibatasi dengan Undang-Undang.
“Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini,” tegas Mahkamah.
Dari perspektif kewajiban, sambung Mahkamah, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perspektif yang manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara ini, maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional.
Akhirnya, Mahkamah menyatakan bahwa Pokok permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Dodi/mh)

Selasa, 01 Mei 2012

APARAT PEMERINTAH/NEGARA TIDAK NETRAL, DIPIDANA

 Ketidaknetralan Aparat Negara/Pemerintah dalam Pemilukada Diancam Pidana
(www. mahkamahkonstitusi.go.id)


Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusional bersyarat Frasa ”… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…” dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Frasa ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83’ dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’. Pasal 116 ayat (4) UU Pemda selengkapnya harus dibaca, ‘Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah)’,” urai Mahfud membacakan amar putusan. Pasal 83 yang dirujuk oleh Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur mengenai “dana kampanye” yang tiada kaitan sama sekali dengan pejabat negara/PNS/kepala desa, tetapi Pasal 116 ayat (4) sendiri mengatur larangan bagi aparat negara/ pemerintah yang selengkapnya berbunyi, “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Hal inilah yang dianggap kesalahan merujuk pasal. Sedangkan Pasal 80 UU Pemda yang diminta MK untuk dirujuk karena konstitusional, adalah mengatur mengenai pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikah salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Putusan dengan nomor 17/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (1/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini dimohonkan oleh Heriyanto selaku Tim Asisten Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mahkamah berpendapat Pemohon mengajukan pengujian konstitusional frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan frasa tersebut salah merujuk pasal. Hal tersebut karena Pasal 83 UU 32/2004 bukan mengenai larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, melainkan mengatur mengenai dana kampanye. Adapun pasal yang mengatur tentang larangan terhadap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, adalah Pasal 80 UU 32/2004. Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma karena terjadinya kesalahan dalam merujuk pasal, Mahkamah perlu memberikan kepastian hukum guna menegakkan keadilan dengan menyatakan bahwa frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU 32/2004 harus dibaca “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum,” ujar salah satu hakim konstitusi. Dalam konklusi, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon. “Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/Miftakhul Huda)

MK Cabut Aturan Banding Praperadilan
 
Pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945.

Agus Sahbani


Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menyatakan menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan. Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan anggota polisi, Tjetje Iskandar yang memohon pengujian pasal itu.

“Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata ketua majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di ruang sidang Gedung MK, Selasa (1/5).

Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Sebab, pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan dikabulkan majelis hakim. Sementara, bagi pemohon praperadilan tidak tersedia upaya hukum banding.

Pasalnya, Tjeje pernah mengalami kasus pidana yang dihentikan penyidikan (SP-3) lewat Surat Ketetapan No. Pol. S.Tap/20-BupI/VII/2002 tanggal 4 Juli 2002 yang dikeluarkan Direspidum Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi. Lalu, pemohon mengajukan praperadilan yang memutuskan permohonan praperadilan ditolak lewat putusan No. 27/Pid/Prap/2011/PN Jaksel tanggal 23 Agustus 2011.

Artinya, SP3 atas kasus itu tetap dinyatakan sah. Meskipun Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP melarang pihak pemohon untuk banding, Tjetje tetap mengajukan banding atas putusan praperadilan itu yang memori bandingnya telah diserahkan pada 9 September 2011.

Selengkapnya, Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi, “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”. Lalu, ayat (2) menyatakan “dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi”.

Atas penghapusan pasal itu, Mahkamah beralasan acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding (baik oleh pemohon atau termohon). MK menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena  tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.

Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. “Ketentuan itu tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Mahkamah berpendapat untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP terdapat dua alternatif. Pertama, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding. Atau, kedua, menghapuskan hak penyidik/penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.

Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat adalah untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka, terdakwa, penyidik, dan penuntut umum. Karena itu pula, pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

“Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak itu, maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum. Sedangkan permohonan pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum,” kata Ahmad Sodiki.

PENDAFTARAN GUGATAN

Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri
 
Bila kita menggugat yang tergugatnya di luar negeri, apa dasar hukum bahwa gugatan tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?

 Diana Kusumasari (hukumonline)

Secara umum, untuk gugatan perdata, pengajuan gugatan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
 
Namun, penerapan asas tersebut tidaklah mutlak, lebih jauh diuraikan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, yakni:
1.    Actor Sequitur Forum Rei (gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal tergugat);
2.    Actor Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi (dalam hal ada beberapa orang tergugat, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan penggugat);
3.    Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal (dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal);
4.    Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat (dalam hal tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui);
5.    Forum Rei Sitae (Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa);
6.    Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili (para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yakni menyepakati untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian);
7.    Negara atau Pemerintah dapat Digugat pada Setiap PN (dalam hal Pemerintah Indonesia bertindak sebagai penggugat atau tergugat mewakili negara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di mana departemen yang bersangkutan berada).
 
Mengutip pendapat salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sujatmiko, sebenarnya tidak ada keharusan untuk mendaftarkan gugatan yang tergugatnya di luar negeri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, untuk tergugat yang berada di luar negeri, menurut Sujatmiko, berlaku Pasal 118 ayat (3) HIR yang menentukan gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat (sebagaimana disebut dalam poin 4 di atas). Dan selanjutnya Ketua PN menyampaikan gugatan tersebut melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri untuk memanggil tergugat yang berada di luar negeri.
 
Lebih jauh Sujatmiko menjelaskan, karena Direktorat Jenderal Protokol ini berlokasi di Jakarta Pusat, maka pada umumnya gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri, diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meskipun misalnya penggugat ternyata mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Cirebon (contoh), pemanggilan tergugat juga akan melalui delegasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kemudian gugatan tersebut disampaikan melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri.
 
Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Kemudian, Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
 
Jadi, kami simpulkan bahwa tidak ada keharusan bahwa gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri harus diajukan/didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.
 
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Sujatmiko melalui hubungan telepon pada 30 April 2012.
 
Dasar Hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227);
2. Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);