Proses Divestasi 24 Persen Saham Newmont Bermasalah
11 Mai 2012
ICW mengingatkan, negara banyak dirugikan melalui divestasi 24 persen saham Newmont tersebut.
Lupakan
sejenak perselisihan antara pemerintah dan DPR soal divestasi tujuh
persen saham PT Newmont Nusa Tenggara yang tinggal menanti keputusan
Mahkamah Konstitusi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan ada
hal yang lebih penting yang harusnya dipersoalkan, yakni bagaimana
proses divestasi 24 persen saham Newmont oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan
hasil penelusuran ICWdan penemuan anggota DPRD Sumbawa, ditemukan ada
perbedaan dividen secara tertulis dan implementasinya. Pada perjanjian
kerjasama tersebut, terutama pasal 8 tentang pembagian dividen,
disebutkan bahwa pihak pertama yakni PT Daerah Maju Bersaing (DMB) akan
mendapatkan dana talangan sebagai dividen awal sebesar USD4.000.000 dari
pihak kedua yakni PT. Multi Capital. Ini artinya, pihak kedua telah
memberikan piutang kepada pihak pertama yang disebut sebagai advance dividen.
Menurut
anggota DPRD Sumbawa Fitrah Rino yang telah memanggil pihak PT DMB dan
PT Multi Capital, pihak PT Multi Capital memberikan saham kepada PT DMB
tanpa harus menanggung utang. Jadi, persoalan pembelian saham tersebut
menjadi sepenuhnya urusan PT Multi Capital dan di luar tanggungjawab PT
DMB. Tetapi pada kenyataanya, PT DMB tercatat memiliki utang kepada PT
Multi Capital yang semakin hari jumlahnya semakin menumpuk. Hingga 2011,
tercatat bahwa PT DMB selaku BUMD memiliki utang sebesar Rp241,368
miliar.
“Tahun 2010 utang PT DMB sebesar Rp26,509 miliar,” kata peneliti ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (10/5).
Selain
itu, Firdaus juga menemukan fakta bahwa dividen yang dibayarkan kepada
daerah (PT DMB) sebenarnya hanyalah sebagai angsuran utang atas dana
talangan awal yang telah diberikan kepada PT DMB. Seharusnya, kata
Firdaus, dividen yang diterima oleh daerah pada tahun 2010 adalah
sebesar USS55.541.814. Angka ini didapat dari besarnya saham PT DMB 25
persen dari total keuntungan yang didapat PT NTT yakni
Rp2.010.943.808.000. Total keuntungan didapat dari laporan keuangan PT
Bumi Resources.
Tetapi
nyatanya, pemerintah daerah hanya mendapatkan dividen pada tahun 2011
sebesar US$34 juta dan kemudian dikurangi dengan jumlah utang pada tahun
2011 sebesar Rp26.509 Juta. Sehingga dividen yang diterima adalah
USS7,382 juta atau setara dengan Rp66,943 milliar.
“Jadi tidak ada dividen, tapi yang ada hanya angsuran utang,” tegas Firdaus.
Perlu
dijelaskan, PT DMB merupakan perusahaan milik daerah yang dibentuk guna
mewakili kepemilikan 24 persen saham di NNT. Pembentukan PT DMB ini
merupakan hasil dari nota kesepahaman antara PT Bumi Resources (BR)
dengan pemerintah daerah provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tentang
pembelian saham program divestasi PT NNTyang disetujui pada 16 Maret
2007.
Kemudian,
pada 18 Maret 2009, PT BR meneken perjanjian kerjasama antara gubernur
NTB, Bupati Sumbawa Barat dan Sumbawa terkait pendirian perusahaan
patungan yang diberi nama PT DMB. Kemudian, PT BR membentuk anak usaha
yaitu PT Multi Capital dengan meneken kembali sebuah nota kesepahaman
antara PT DMB dan Multi Capital. Lalu, pada 23 Juli 2009 dibuatlah
perjanjian kerjasama antara PT DMB dan PT Multi Capital yang menjadi
awal malapetaka. Perjanjian tersebut menjelaskan bahwa PT DMB hanya
memiliki bagian 25 persen saham, sementara PT Multi Capital sebesar 75
persen.
Tidak
hanya dari sisi dividen. Ternyata, pelanggaran pun terjadi pada
pembentukan PT DMB ini. BUMD tersebut dianggap cacat hukum karena
terbentuk tanpa adanya aturan yang mengatur tentang pembentukannya.
Seharusnya, jelas Firdaus, setiap PT yang dibentuk atas nama milik
daerah harus disertakan dengan aturan yang jelas yang disebut dengan
peraturan daerah (Perda). Tetapi, Perda mengenai terbentuknya PT ini
baru terbit setelah satu tahun pembentukannya.
“Pembentukannya cacat hukum dan bukan BUMD namanya tapi milik swasta,” terangnya.
Berdasarkan
kecurangan-kecurangan tersebut, diduga negara telah banyak dirugikan
melalui divestasi 24 persen PT NNT tersebut. Mirisnya, pemerintah seakan
tak peduli bahkan tidak mengawasi proses divestasi tersebut serta
proses pembentukan Perda. Untuk itu, ICW meminta agar Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terkait proses
divestasi 24 persen saham PT NNT juga perjanjian kerjasama antara BUMD
dengan PT Multi Capital. Jika tidak, maka dapat dipastikan negara akan
mengalamin kerugian yang sangat besar.
Selain
itu, ICW juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat
berperan aktif untuk mendalami kerugian negara dari proses dan
perjanjian kerjasama tersebut. Serta menindaklanjuti laporan ICW terkait
dugan kerugian negara dari royalty PT NNT tahun buku 2004-2010 sebesar
US$237.400.606.
Fitrah
Rino menambahkan, pihaknya telah melaporkan hal ini kepada BPK dan KPK.
Ia berharap agar permasalahan ini segera ditindaklanjuti. Dia
menyayangkan, jika divestasi 24 persen PT NTT yang juga menyertakan dana
daerah harus dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Daerah dirugikan dengan divestasi 24 persen saham PT NNT ini,” sesalnya.
Dia
juga mempertanyakan, kemana lari dana talangan awal yang disetorkan
oleh PT Multi Capital kepada PT DMB yang hingga saat ini disebut dengan
utang. Apalagi, pembayaran dividen yang diberikan oleh PT Multi Capital
selalu terlambat satu tahun dari jatuh tempo yang seharusnya dibayarkan.
“Karena total keuntungan harus diberikan ke PT Bumi Resourses dan
mereka yang memutuskan akan disetorkan atau untuk membayar utang,”
sergahnya.
Selain
itu, para pejabat yang menduduki beberapa jabatan penting di PT DMB pun
berasal dari PT Multi Capital dan PT Bumi Resources. Empat di antara
tujuh dewan komisaris merupakan pihak dari PT Multi Capital dan PT Bumi
Resources.
sumber : Hukumonline.com