Selasa, 20 Januari 2009

TELAAH KRITIS
 HUKUM REPRESIF, HUKUM OTONOM, DAN HUKUM RESPONSIF

PENDAHULUAN
 Tipe hukum yang represif, otonom dam responsif merupakan konsep-konsep yang abstrak yang sumber referensi empiriknya kerap kali sukar dipahami. Hal yang sama terjadi dalam tipologi ilmu sosial manapun, termasuk klasifikasi kepribadiannya.
 Ketiga tipe hukum tersebut muncul karena keterbatasan-keterbatasan atau kelemahan-kelemahan tipe hukum yang lain. Hal ini disebabkan karena tidak ada tertib hukum yang kompleks atau bagian dari padanya yang bisa membentuk suatu sistem yang benar-benar koheren, yang saling bertalian secara logis. Tertib hukum atau institusi hukum apapun cenderung memiliki karakter campuran yang menggabungkan aspek-aspek ketiga tipe hukum tersebut. 
PENGERTIAN 
 Hukum Represif adalah hukum yang melayani dan tunduk kepada penguasa (feodalisme) dan mengendalikan seluruh kehidupan rakyat untuk menciptakan, melaksanakan serta memperkuat kontrol terhadap setiap kegiatan masyarakat. Tipe hukum ini bertujuan mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali diterapka dengan dalih menjamin ketertiban. Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali peguasa atau pembuat hukum.
 Hukum otonom adalah hukum sebagai suatu pranata yang setia menjaga kemandirian hukum itu sendiri.karena sifatnya yang mandiri, maka yang dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara kekuasan dan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan prosedural hukum yang bebas dari pengaruh politik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan.
 Hukum responsif adalah hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari suatu sistem peratura belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Artinya bahwa melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

SUMBER DAN TOKOH
 Ketiga tipe hukum tersebut di atas kita kaitkan dengan sumber-sumber kekuasaan, maka nampak ada keterkaitannya. Sumber-sumber kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
 Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
 Dari kempat sumber kekuasaan atau kedaulatan tersebut terlihat bahwa hukum represif sangat identik dengan kedaulatan raja dan negara. Tipe hukum otonom identik dengan kedaulatan hukum. Sedangkan tipe hukum responsif sangat identik dengan kedaulatan rakyat.
 Hukum represif dapat kita sebut juga sebagai rezim otoritarian. Para tokoh yang identik dengan hukum represif adalah Thomas Hobbes, Jhon Austin dan Karl Marx. Menurut mereka hukum merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya memiliki diskresi yang tidak terbatas, hukum dan negara tidak dapat dipisahkan.
 Hukum otonom dalam istilah lain dapat disebut sebagai hukum positif atau hukum normatif (legal realism), karena tipe hukum ini egois karena lebih mementingkan dirinya sendiri. Identik juga dengan teori dari A.V. Dicey yang dikenal sebagai rule of law. Para tokoh yang identik dengan tipe hukum otonom ini antara lain A.V. Dicey, Hans Kelsen.
 Hukum responsif merupakan teori hukum yang tergolong sociological jurisprudence. Sociological jurisprudence merupakan pendekatan filosofis terhadap hukum yang menekankan pada upaya rancang bangun hukum yang relevan secara sosial. Dengan kata lain sociological jurisprudence merupakan ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologi. Aliran ini memberi perhatian pada dampak sosial yang nyata dari institusi, doktrin, dan praktik hukum. Jadi hukum responsif dapat kita sebut juga sebagai hukum empiris. Para tokohnya antara lain Roscoe Pound, Nonet dan Selznick serta Sajipto Raharjo.
KELEMAHAN
 Hukum represif memberikan keamanan dan ketertiban yag semu bagi obyeknya. Peran serta obyek yang tidak ada sama sekali. Hal ini menimbulkan kebungkaman bagi obyek untuk melakukan kritisasi. Sehingga hal ini akan menimbulkan legitimasi yang lemah dari obyek terhadap kekuasaan dan peraturan yang dibentuk. Ini sebagai akibat dari mudahnya hukum di utak atik sesuai dengan keinginan penguasa.
 Hukum otonom lebih mengedepankan prosedural hukum dan mengesampingkan substansi dari hukum itu sendiri. Yang lebih ditonjolkan adalah kepastian hukum (rule of law). Kepatuhan hanya pada hukum positif saja tidak pada yang lain. Kreatifitas dibatasi oleh hukum. Nilai-nilai sosial dikesampingkan. Jadi hukum otonom adalah hukum yang egois, hukum yang steril dari pengaruh sosial. Hal ini akan mengakibatkan ketidakadilan dan menimbulkan penegakan hukum yang hanya bersifat normatif belaka.
 Hukum responsif merupakan hukum yang menitikberatkan pada respon sosial dari masyarakat atau hukum yang terbuka bagi masyarakat (empiris). Respon yang berlebiha dari obyek akan menimbulkan proses pembentukkan peraturan hukum yang berlangsung lama, memudahkan terjadinya amandemen terhadap sebuah peraturan dan kepastian hukum yang tidak jelas dan mudah menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
PERSAMAAN
 Dari ketiga tipe hukum tersebut ada beberapa persamaan yang tidak bisa terpisahkan, yaitu :
1. memiliki daya paksa dalam penerapannya, tapi porsentase besarnya daya paksa berbeda-beda.
2. subyek yang sama yaitu penguasa atau pemerintah. Tanpa adanya subyek, maka ketiga tipe hukum tersebut tidak akan berjalan dengan baik karena tidak ada yang menegakkannya.
3. obyek yang sama, yaitu masyarakat atau rakyat. Tanpa adanya obyek maka tidak ada tempat untuk menerapkan hukum tersebut. 
4. ketiga tipe hukum tersebut saling melengkapi satu sama lain, karena tidak ada satupun dari tipe hukum tersebut yang sempurna.
 Jadi, tipe hukum manakah yang cocok bagi Bangsa Indonesia? Melihat kelebihan dan kekurangan dari ketiga tipe hukum tersebut maka tipe hukum campuran dari ketiganya perlu untuk dicoba di indonesia. Tentu dengan terlebih dahulu merajut nilai-nilai positif yang tertuang dalam ketiga tipe tersebut menjadi sebuah sistem hukum pro rakyat dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya. 


























Daftar Pustaka

Bernard L. Tanya dkk, 2006, ”Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. KITA.
Nonet dan Selznick, 2007, ”Hukum Responsif”, Bandung: Nusamedia.
Teguh Prasetyo dkk, 2007, “Ilmu Hukum & Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tri Widodo W. Utomo, Makalah: “Pembatasan Kekuasaan Pemerintah dan Pemberdayaan Demos”.

harmonisasi hukum dan masyarakat

PENTINGNYA HARMONISASI HUKUM DAN KEKUASAAN 
DI ERA DEMOKRASI INDONESIA 


PENDAHULUAN

Hukum dan Kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa kita pisahkan keberadaannya satu sama lain karena keduanya adalah satu kesatuan sistem yang saling menopang satu sama lain. Hukum merupakan produk yang dibuat oleh penguasa yang diberikan kekuasaan oleh rakyat melalui perwakilannnya dieksekutif maupun legislatif. Sedangkan proses menuju kursi kekuasaan secara demokrasi diatur mekanismenya oleh hukum, yakni produknya adalah Undang-undang.
Masyarakat adalah tempat berlakunya hukum yang dibuat oleh penguasa . Dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebuah adagium yang sampai saat ini tak terbantahkan maknanya. Salah satu makna dari adagium tersebut adalah hukum sebagai aturan dalam bermasyarakat yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan berlaku memaksa dalam komunitasnya dan bagi yang melanggar akan dikenai sanksi oleh penguasa. Dan itu menunjukkan bahwa masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sangat membutuhkan hukum walaupun dalam bentuk yang paling sederhana. 
Sebagai contoh, keluarga adalah bentuk masyarakat yang paling kecil, di dalam keluarga diperlukan adanya aturan-aturan, oleh karena itu di dalamnya harus ada hukum untuk mengatur hak dan kewajiban para anggotanya. 
Kekuasaan yang diberikan masyarakat kepada penguasa yang ditunjuk sebagai perwakilan masyarakat tentunya punya kewajiban untuk melindungi dan menegakkan aturan yang dilanggar oleh masyarakatnya agar kembali seperti semula seperti saat tidak terjadi pelanggaran dengan sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Sehingga salah satu fungsi pemerintah di sini adalah mengembalikan keteraturan dan ketertiban yang dilanggar dengan melakukan penegakan hukum.  
Di era Demokrasi ini antara Hukum dan kekuasaan telah terjadi penyalahgunaan posisi hukum oleh penguasa demi kepentingan pribadi dan kelompok yang sifatnya sesaat. Masyarakat dianggap sebagai ”habis manis sepah di buang”. Artinya pada saat dibutuhkan masyarakat disanjung-sanjung, setelah mendapatkan apa yang mereka mau, masyarakat tidak diperhatikan lagi. Misalnya ketika PILKADA dan PEMILU.
Seorang sejarawan, Michael Zinn, dengan tegas mengungkapkan bahwa the rule of law is a kind of conspiracy, karena menurutnya the rule of law masks the true sources of power in society. Dan oleh sebabnya, hukum sangat berpotensi mereproduksi sumber-sumber alienasi (alienation) dan tekanan (oppression).
Menurut Herlambang konteks ini yang sesungguhnya bisa menjelaskan karakter hukum yang menjadi congkak dan kejam di mata orang-orang miskin, serta runtuh kewibawaan, nilai-nilai dan maknanya sejak ia (hukum) dilahirkan. Masyarakat semakin lama semakin percaya bahwa hukum memang seperti permainan politik, penuh kepentingan dan menyusahkan. Stigmatisasi pun lahir bahwa berurusan dengan hukum sama halnya dengan berurusan dengan sejumlah pejabat, aparat, atau penegak hukum yang bermental korup dan penuh nuansa permainan kotor di dalamnya. Walhasil, degradasi kepercayaan terhadap institusi-institusi hukum pun satu persatu roboh secara struktural, sosial, dan moral. Tidak terkecuali institusi pendidikan hukum yang mulai digiring ke arah dan pemuas kekuasaan. 
Hukum, sebagaimana banyak diterjemahkan melalui materialisasi teks-teks telah menempatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, hukum telah dibuat secara sadar oleh pembuat/pengambil kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu hukum, meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesakan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. 
Taruhlah contoh, Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang mengatur model privatisasi serta komersialisasi air yang berpotensi didominasi kaum pemodal, telah didisain rapi untuk melayani kebutuhan kekuasaan liberalisasi sumberdaya alam. Meskipun protes telah dilancarkan oleh publik, nampaknya proyek-proyek liberalisasi yang difasilitasi oleh kerangka pembaruan hukum, sama sekali tidak mengindahkan posisi pihak-pihak yang akan dimarginalkan dalam kebijakan tersebut. Ini terjadi akibat perselingkuhan kekuasaan politik negara dengan prasyarat-prasyarat utang yang ditentukan oleh kekuasaan lembaga keuangan internasional, utamanya Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. 
Begitu juga dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun upaya revisi di tahun 2006 ini dengan disain kebijakan buruh murah dan ramah atas pasar atau iklim investasi, juga merupakan bagian dari konstruksi kekuasaan pasar bebas. Perundang-undangan ini telah dibentuk dalam konteks kapitalisme industri yang menuntut kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Marx (1977) menyatakan bahwa kapitalisme didasarkan pada relasi sosial, hukum, dan politik yang menyokong eksploitasi terhadap buruh, dan buruh dipahami sebagai komoditas yang dibeli oleh kapitalis yang menggunakan buruh sebagai bagian dari belanja untuk memproduksi barang-barang. Tidak begitu mengherankan bilamana kebijakan perburuhan senantiasa memuaskan selera pasar dibandingkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak buruh. 
Contoh-contoh tersebut di atas dan contoh-contoh yang lain yang serupa merupakan salah satu bentuk dari kekejaman hukum yang diotaki oleh penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat dengan menggunakan hukum sebagai instrumen legalisasi perbuatan-perbuatannya yang tidak berpihak kepada masyarakat.
PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka menarik untuk kita kaji sebagai permasalahan adalah bagaimanakah hubungan hukum dan masyarakat, kekuasaan dan masayarakat, hukum dan kekuasaan dan implementasi hukum dan kekuasaan dalam Undang-Undang Dasar 1945?





































PEMBAHASAN

1. Hukum dan Masyarakat

”Dimana ada masyarakat disitu ada hukum”. Ini merupakan adagium yang menggambarkan secara ringkas tentang hubungan hukum dan masyarakat. Masyarakat merupakan sebuah sistem pergaulan hidup masyarakat, pasti memiliki sistem hukum walaupun dalam bentuk yang paling sederhana. 
Manusia bermasyarakat, hidup dalam apa yang dinamakan situasi sosial dan situasi alam, situasi sosial merupakan suatu keadaan dimana terdapat hubungan timbal balik antara manusia. Adanya situasi sosial tersebut, dapat dikembalikan pada paling sedikit tiga faktor, yaitu: 
a. Naluri manusia untuk hidup bersama dengan manusia;
b. Keinginan untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau lingkungan sosialnya;
c. Keinginan untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan, akibatnya situasi sosial tersebut di atas akan ikut berkembang dan semakin kompleks. Perkembangan masyarakat tersebut pasti dibarengi dengan timbulnya hukum yang dalam perkembangan pula. Dalam kondisi seperti ini berarti perkembangan kehidupan masyarakat diikuti perkembangan hukum yang berlaku di dalam masyarakatnya bahkan dapat terjadi keduanya saling mempengaruhi dan satu sama lain saling menyempurnakan. Perkembangan masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan di bidang hukum atau sebaliknya, keadaan tersebut erat dengan pergaulan hidup setiap orang yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda. 
Dan sebagai hukum, aturan-aturan sebagai kaidah hidup dalam pergaulan masyarakat itu sebenarnya mencerminkan cita-cita atau sistem nilai yang berlaku umum dalam masyarakat itu. Jika ada pelangaran oleh anggota masyarakat maka kepentingan yang dirugikan harus diganti atau diperbaiki, peraturan harus dipertahankan dan si pelanggar harus dikenakan sanksi hukuman yang dapat dipaksakan kepadanya dengan cara yang adil, ialah suatu penyelesaian yang mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang pada hakekatnya bertentangan sehingga masing-masing memperoleh sebanyak-banyaknya apa yang patut diterima yang hakekatnya tidak dapat memberikan kepuasan untuk semua pihak . Inilah yang disebut Soedjono bahwa hukum memiliki tujuan dan maksud yag sangat ideal, realistik dan positif. 
Fungsi hukum dalam masyarakat yang sudah maju dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, di mana kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum untuk mengaturnya. Dan sisi kedua, adalah di mana hukum yang baik dapat mengembangkn masyarakat atau mengarahkan perkembangan masyarakat. 
Fungsi hukum bagi masyarakat menurut Professor Peters ada tiga perspektif, yaitu :
a. Perspektif kontrol sosial dari pada hukum;
b. Perspektif social-engineering;
c. Perspektif emansipasi masyarakat dari pada hukum.
Menurut Dr Munir Fuady, secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Memfasilitasi (termasuk untuk mencapai ketertiban);
2. Fungsi Represif (termasuk penggunaan hukum sebagai alat bagi elite berkuasa untuk mencapai tujuan-tujuannya);
3. Fungsi Idiologis (termasuk menjamin pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, dll); dan
4. Fungsi Reflektif (hukum merefleksi keinginan bersama dalam masyarakat sehingga mestinya hukum bersifat netral.
Penelahaan hukum secara sosiologis menunjukkan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, yakni merupakan refleksi dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat;
2. Hukum merupakan refleksi, baik dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal; dan
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
2. Kekuasaan dan Masyarakat

Masyarakat adalah tempat tumbuh dan berkembangnya kekuasaan. Karena masyarakat merupakan sebuah wadah sosial tempat berinteraksinya berbagai macam bentuk kelompok sosial yang berbeda-beda latar belakangnya dan tempat kekuasaan itu dibentuk.
Utuk menjamin ketertiban dan keamanan serta kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri kearah yang lebih baik dan teroganisir, maka masyarakat mengangkat seorang pemimpin atau penguasa yang dipercayakan menjadi ujung tombak terdepan dalam berinteraksi dengan pihak lain atau bangsa atau koloni lain baik secara sukarela maupun tidak .
Kekuasaan yang diberikan masyarakat kepada seorang penguasa menandakan bahwa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat semakin kompleks dan semakin luas jangkauannya dalam semua lini dimensi kehidupan masyarakat. Jadi kekuasaan yang diberikan kepada penguasa harus dilandasi dan dibatasi oleh nilai-nilai luhur yang menjadi fundamental tujuan awal dari diberikanya kekuasaan itu. Ini artinya juga bahwa penguasa tidak boleh sewenang-wenang dan terbatas ruang lingkup kekuasaanya. 
Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pada hakekatnya adalah sarana untuk menjalankan fungsi pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kekuasaan yang tidak terkontrol, justru akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itulah diperlukan upaya pemberdayaan demos (masyarakat), karena sesungguhnya masyarakatlah yang berdaulat, sedang pemerintah hanya sekedar menjalankan amanat rakyat. Demos yang berdaya pada suatu negara, sekaligus akan mencerminkan bahwa negara tersebut menganut prinsip supremasi hukum dan menjunjung tinggi cita-cita demokrasi. 
Menurut Franz Magnis Suseno sejak semula kekuasaan selalu berwajah dua, sekaligus mempesona dan menakutkan. Seperti fenomenologi agama, halnya yang ilahi . Kekuasaan akan mempesona ketika pemerintah tidak memiliki hak untuk menuntut ketaatan mutlak kepada masyarakatnya tetapi masyarakat harus dituntun untuk lebih taat kepada Tuhannya karena ketika Tuhan sudah ditaati maka dengan sendirinya masyarakat akan taat kepada penguasa. Kemudian penguasa terikat pada norma-norma etis di mana idea keadilan adalah yang paling dasar dan penguasa terikat oleh hukum yang berlaku dalam msayarakat.
Kekuasaan akan menjadi menakutkan dan kejam ketika penguasa pemegang kekuasaan bertindak sebversi atau represif kepada masyarakatnya atau penguasa tidak mengindahkan nilai-nilai dasar yang berlaku dalam masyarakat tersebut di atas atau keluar dari rel-rel hukum yang dibuatnya sendiri.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. Jadi kekuasaan itu sangat identik dengan seseorang atau kelompok orang. Sehingga dalam hal ini peran masyarakat sangatlah penting tidak hanya sebagai pelaksana atau objek kebijakan yang diambil penguasa tetapi juga sebagai kekuatan pengontrol independen dari kebijakan peguasa. 
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa sangat memerlukan legitimasi atau keabsahan dari masyarakat si pemberi mandat utuk menyerahkan hidupnya untuk dikuasai (diatur) oleh penguasa. Beberapa pengertian legitimasi atau keabsahan seperti yang dikumpulkan oleh Budiardjo dapat dikemukakan sebagai berikut : 
a. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. 
b. Legitimasi adalah the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime (David Easton, System Analysis of Political Life, 1965).
c. Legitimasi mencakup the capacity to produce and maintain a belief, that the existing political institutions or forms are the most appropriate for the society (Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Basis of Politics, 1969).
Sumber-sumber kekuasaan yang dikenal selama ini terdiri dari 4 (empat) sumber, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh atau bersumber dari Tuhan, Negara, Hukum dan Rakyat. Sumber-sumber kekuasaan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa. 
Teori Kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan. 
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari kelemahan Kedaulatan Tuhan di atas muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya. Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum. 
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan. Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa menarik atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut. Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah du contract social (perjanjian masyarakat). 
Adapun cara-cara memperoleh kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Syafiie terdiri dari 7 (tujuh) macam cara : 
a. Legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan dan atau pemilihan. Coersive Power adalah perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan kekuasaan yang bersifat inkonstitusional.
b. Expert power adalah perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang dalam memangku jabatan tertentu. 
c. Reward power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian, dimana orang atau kelompok yang taat kepada orang atau kelompok lain mengharapkan atau termotivasi oleh sejumlah uang pembayaran (misalnya gaji). 
d. Reverent power adalah perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang, baik aspek wajah, postur tubuh, penampilan atau sikap seseorang.
e. Information power adalah perolehan kekuasaan melalui penguasaan terhadap akses informasi, terutama dalam era teknologi komunikasi yang sangat modern seperti sekarang.
f. Connection power adalah cara memperoleh kekuasaan melalui hubungan (relation) yang luas, baik dalam bidang politik maupun perekonomian.
Lord Acton menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Dalam termonilogi ilmu hukum tata negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ini disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad atau abuse of power.
Berangkat dari falsafah tersebut di atas peran masyarakat sebagai social control (pengawas sosial) bagi penguasa sangatlah penting selain perangkat-perangkat lain yang telah dibentuk oleh penguasa (hukum). Penguasa yang demokratis adalah penguasa yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan segala keputusan dan penguasa dibawah kontrol nyata masyarakat.
3. Hubungan hukum dan kekuasaan diera demokrasi

Hubungan hukum dan kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat dalam slogan ”Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” 
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama.
Kekuasaan itu diperlukan karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, semakin berkurang diperlukannya dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai memiliki kesadaran hukum yang tinggi dilingkungan anggota-anggotanya. 
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohani, intelegensia dan moral). Selain itu hukum pun pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya (absolut dan diktator misalnya).  
”Baik buruknya sesuatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan, artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaanya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur”.  
Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan keehndak masyarakat. Karena itu disamping keharusan adanya hukum sebagai alat pembatas, juga bagi pemegang kekuasaan ini diperlukan syarat-syarat lainnya seperti memiliki watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat. Keasadaran hukum yang tinggi dari masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan. 
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat. Peperzak mengemukakan, adanya hubungan ini dapat diperlihatkan dengan dua cara sebagai berikut di bawah ini : 
Cara pertama dengan menelaahnya dari konsep sanksi. Adanya perilaku yang tidak mematuhi aturan-aturan hukum menyebabkan diperlukannya sanksi untuk penegakan aturan-aturan hukum tadi. Karena sanski dalam kenyataannya merupakan suatu kekerasan , maka penggunaanya memerlukan legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar menjadikannya sebagai kekerasan yang sah. Legitimasai yuridis yang dapat diberikan untuk membenarkan digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah adalah fakta bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut merupakan bentuk pertama dari kekerasan yang harus ditanggulangi yaitu ditindak atau ditiadakan dan jika mungkin dicegah.
Dipergunakannya sanksi sedemikaian menyebabkan sanksi tersebut harus ditetapkan atau dirumuskan oleh sistem aturan hukum itu sendiri. Timbul pertanyaan apakah sanksi itu harus dimasukkan esensi daripada hukum? Agar sanksi dapat berfungsi dengan baik sehingga semua sistem aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil guna, maka diperlukan adanya kekuasaan (force) yang memberikan dukungan tenaga maupun perlindungan bagi sistem aturan hukum berikut dengan sanksi tersebut.
Cara kedua dengan menelaahnya dari konsep penegakan konstitusinya. Pembinaan sistem aturan-aturan hukum dalam suatu negara yang teratur adalah diatur oleh hukum itu sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam konstitusi dari negara yang bersangkutan. Penegakan konstitusi itu termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan hukum itu tadi mengasumsikan digunakannya kekuatan (foece).
Diperlukan kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindung bagi sistem aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya, berarti bahwa hukum pada akhirnya harus didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan hukum, yaitu oleh kekuasaan itu tadi. Kekuatan (force) yang diperlukan ini, dalam kenyataannya dapat berwujud sebagai :
1. Keyakinan moral dari masyarakat;
2. Persetujuan atau konsensus dari seluruh rakyat;
3. kewibawaan dari eorang pemimpin karismatik;
4. Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka); dan 
5. kombinasi dari faktor-faktor tersebut di atas.
Kekuasaan sebenarnya secara implisit tercakup dalam pengertian politik, oleh karena politik merupakan suatu seni untuk membina kekuasaan. Secara politik hukum dibuat oleh penguasa (pemerintah). Jika kita melihat hubungan hukum dengan kekuasaan dari sisi politik, dalam arti politik adalah kekuasaan, maka menurut Mahfud MD paling tidak ada tiga macam hubungan hukum dengan kekuasan, yaitu : 
a. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
b. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.
c. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Selanjutnya Mahfud MD mengatakan bahwa adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan di antara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban yag pertama dan kedua, disebabkan oleh perbedaan cara pandang ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkatan hubungan antar angota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukun dari sudut das sein (kenyataannya) atau para penganut paham empiris melihat secara empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. 
Hukum berasal dari negara, dan yang berkuasa dalam suatu negara adalah pemerintah. Pemerintah melalui politiknya menetapkan hukum. Abdul Ghofur Anshori memandang bahwa hubungan hukum dan kekuasaan dapat dilihat dari dua hal : 
1. Hukum tidak sama dengan kekuasaan. Hal ini didasrkan pada dua alasan:
a. Hukum kehilangan artinya jika disamakan dengan kekuasaan karena hukum bermaksud menciptakan suatu masyarakat yang adil. Tujuan ini hanya tercapai jika pemerintah juga adil dan tidak semena-mena dengan kekuasaanya.
b. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap kebebasan individual yang lain, melaikan juga kebebasan (wewenang) dari yang berkuasa dalam negara.
2. Hukum tidak melawan pemerintah negara, sebaliknya membutuhkannya guna mengatur hidup bersama. Yang dilawan adalah kesewenangan-wenangan individual. Hal ini didasarkan pada dua alasan :
a. Dalam masyarakat yang luas, konflik hanya dapat diatasi oleh entitas yang berada di atas kepentingan individu-individu, yaitu pemerintah.
b. Keamanan dalam hidup bersama hanya terjamin bila ada pemerintah sebagai tertib negara.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 perubahan ketiga yang menyatakan ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya bahwa segala tidak tanduk dari masyarakat termasuk didalamnya penguasa sebagai pemegang kekuasaan harus tunduk kepada hukum. Demikian juga bahwa hukum ketika tidak diindahkan maka penguasa mempertahankannya dengan menegakkan hukum di masyarakat.
Sebelumnya dalam pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Terlihat sekali bahwa UUD 1945 menginginkan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa dalam menjalankan hak dan kewajibannya harus selalu dilandasi oleh ketentuan hukum yang berlaku.
Selain itu nampak jelas dalam UUD 1945 perubahan, lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan prinsip fungsional dan ceks and balances. Artinya lembaga lembaga-lembaga tersebut bekerja sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dan setiap lembaga saling mengawasi satu sama lain sehingga tidak terjadi interpensi oleh salah satu lembaga terhadap lembaga yang lain.
Prinsip pembagian kekuasaan juga diberlakukan dalam UUD 1945. ini nampak dari pembagian kekuasaan antara eksekutif sebagai pemerintah, legislatif sebagai kepanjangan tangan dari rakyat dan yudikatif sebagai lembaga peradilan yang menegakkan hukum formil untuk mempertahankan hukum materil. Ini menunjukkan bahwa UUD 1945 menginginkan rakyat sebagai sumber kekuasaan itu harus dilindungi dan dihormati akan hak dan kewajibannya, tidak untuk ditindas dan dianiaya tetapi harus diayomi.  
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, jika kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit terdapat dua hal yang meminta perhatian utama. Pertama-tama adalah, bahwa beberapa unsur kalangan hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang mengandung aspek kekuasaan. Akan tetapi, kekuasaan tersebut tidak seyogyanya untuk dipergunakan secara sewenang-wenang. Hal ini disebabkan oleh karena adanya pembatasan-pembatasan tentang perannya, yang dtentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis daripada penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektivitas pelaksanaan hukum ditentukan oleh, antara lain, sahnya hukum tadi, artinya, apakah hukum tadi dibentuk serta dilaksanakan oleh orang-orang atau badan-badan yang benar-benar mempunyai wewenang, yakni kekuasaan yang diakui. Di dalam arti inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi hukum juga merupakn suatu sarana bagi pemegang kekuasaan untuk mengadakan tatatertib dan ketentraman dalam masyarakat, atau untuk mempertahankan serta menambah kekuasaan, walau pengguna hukum untuk masksud-maksud tersebut juga ada batasan-batasannya.
 Menurut Hazairin hal ini disebabkan, oleh karena hukum itu diperlukan : 
1. Untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mempunyai keserasian yang bertimbal balik atas dasar kewenangan yang terbuka bagi setiap orang;
2. Untuk mengatur syarat-syarat yang diperlukan sadar akan kewenangan tersebut;
3. Untuk mengatur larangan-larangan yang bertujuan mencegah perbuatan-perbuatan yang menyimpang atau bahkan bertentangan dengan syarat-syarat kewenangan yang telah ditentukan;
4. Untuk mengatur larangan-larangan yang mencegah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari kewenangan-kewenangan tersebut.
Hal kedua adalah, bahwa hukum antara lain, menciptakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban berserta pelaksanaannya. Di dalam hal ini, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiaban warga-warga masyarakat yang tidak dapat diterapkan, oleh karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Akan tetapi sebaliknya, ada pula hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan. Lagipula, apabila masyarakat mengakui adanya hak-hak tertentu, maka hal itu pada umumnya berarti adanya kekuasaan untuk melaksanakannya merupakan hukum yang mati. Hal ini disebabkan, oleh karena hukum tersebut tidak mungkin ditegaskan dengan semata-mata mengandalkan pada adanya konstitusi tertulis atau adanya tradisi mengenai supremasi hukum. Untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut, diperlukan lembaga-lembaga tertentu yang kekuasaanya diakui. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa disatu pihak hukum memberi batasan-batasan pada kekuasaan dan dilain pihak, kekuasaan merupakan salah satu jaminan bagi berlakunya hukum. 


PENUTUP 

Hukum merupakan sebuah instrumen untuk mengatur kelangsungan hidup masyarakay yang telah sepakat untuk hidup bersama dan masyarakat bagi hukum adalah tempat merupakan sebuha wadah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya seiring tumbuh dan berkembagnya masyarakat.
Kekuasaan bersumber dari rakyat. Ini merupakan ajaran dari teori kedaulata rakyat yang merupakan salah satu sumber dari sumber timbulnya kekuasaan. Jadi tanpa adanya masyarakat kekuasaan itu tidak akan ada. Slah satu ciri dari Negara demokrasi adalah pengikutsertaan masyarakat dalam mengambil kebijakan atau keputusan sehingga penguasa tidak boleh berlaku sewenang-wenang kepada masyarakat.
Hubungan hukum dan penguasa dapat kita ibaratkan sebagai sebuah sistem yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena tanpa adanya salah satu dari keduanya maka akan terjadi sebuah kepincangan. Kekuasaan tanpa hukum maka penguasa akan semena-mena dan hukum tanpa kekuasaan maka masyarakat tidak akan mematuhinnya sehingga ketertiban dan keamanan akan terganggu.
UUD 1945 perubahan menegaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan dengan Undang-Undang serta berdasarkan hukum. Ini artinya bahwa kekuasaan dan masyarakat harus tunduk kepada hukum dalam rangka tercapainya fungsi dan tujuan hukum yang telah disepakati oleh masyarakat melalui perwakilannya, yaitu penguasa serta penguasa menegakkan hukum tersebut tanpa adanya tebang pilih demi tercapainya ketertiban dan keamanan.
Masyarakat, kekuasaan dan hukum adalah merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain dan intinya berada pada masyarakat itu sendiri yang merupakan tempat tumbuh dan berkembang kekuasaan dan hukum tersebut. Oleh karenanya kekuasaan dan hukum tidak boleh berlaku sewenang-wenang atas nama kekuasaan dan hukum. 




DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur, 2006. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Apeldoorn, Van , 1976. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya Paramita.
Budiardjo, Miriam, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Fuady, Munir, 2007. Sosiologi Hukum Kontemporer. Bandung: PT Citra Adiya Bakti.
Hazairin, 1976. Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Tintamas.
Karenburg dan Sabaroedin, 1975. Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasinal. Penerbit Binacitra.
MD, Mahfud, 1998. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3IS Indonesia.
Prodjodikoro, Wirjono, 1981. Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik. Jakarta : Eresco.
Rasjidi, Lili & Ira Thania Rasjidi, 2007.Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: CV Mandar Maju.
Soedjono, D, 1984. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: CV. Rajawali
Soekanto, Soerjono, 1989. Kegunaan Sosiologi hukum bagi kalangan hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti 
Soekanto, Soerjono, 1977. Pengantar Sosiologi Hukum. jakarta: Bharata Karya Aksara.
Soemitro, Ronny Hanitiyo, 1985. Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Soeroso,R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudarsono, 1997. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suseno, Franz Magnis, 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syafiie, Inu Kencana, 1994. Ilmu Pemerintahan. Bandung : Mandar Maju.
Zinn, Michael, 1971. The Conspiracy of Law dalam The Rule of Law. New York: Simon and Schuster. 
Wiratraman Perdana, Herlambang. “Kekuasan Tafsir dan Tafsir Kekuasaan dalam Hukum” Herlambang@unair. Av.id
Utomo, Makalah “Pembatasan Kekuasaan Pemerintah dan Pemberdayaan Demos” 
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya.